Pelanggaran Kode Etik Juru Bahasa Isyarat Debat Publik Cawako dan Wawako Batam 2020

Debat Publik
Dok. Debat Publik Cawako dan Wawako Batam. (Ft.AlurNews.com)

BATAM, AlurNews.com – Pelaksanaan Debat Publik Calon Walikota dan Wakil Walikota Batam 2020 yang dilaksanakan kemarin malam, Rabu, 25 November 2020, menyisakan sebuah polemik di kalangan penyandang disabilitas.

Polemik yang dimaksudkan adalah terjadinya berbagai pelanggaran kode etik penjurubahasaan yang dilakukan oleh Juru Bahasa Isyarat (JBI) pada tayangan yang disiarkan secara langsung di Batam TV tersebut.

Isu ini pertama kali diangkat oleh Rezki Achyana, seorang pegiat isu disabilitas, melalui akun instagramnya, @rezkiachyana, yang menyorot berbagai pelanggaran penjuru bahasaan yang dilakukan oleh JBI yang bertugas pada acara tersebut.


Pada postingan yang diupload pada Rabu malam tersebut, Rezki memaparkan lima pelanggaran yang dilakukan oleh JBI, dan meminta KPU Batam, KPU Kepri, serta Batam TV melakukan evaluasi untuk pelaksanaan kegiatan publik sejenis di kemudian hari.


Poin-poin yang disampaikan Rezki diantaranya:

1. Juru Bahasa Isyarat tidak menggunakan Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo), melainkan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI). SIBI tidak dimengerti oleh komunitas Tuli, karena dalam berkomunikasi, komunitas Tuli menggunakan Bisindo. Saya bisa sampaikan, percuma ada Juru Bahasa Isyarat jika informasi yang disampaikan tetap tidak dapat dipahami oleh komunitas Tuli.

2. Dalam penjurubahasaan, Juru Bahasa Isyarat tidak mengisyaratkan seluruh informasi. Terlalu banyak informasi yang terlewat dan tidak diisyaratkan. Juru Bahasa Isyarat sering berhenti berisyarat karena tidak mengetahui isyarat dari kata-kata yang disampaikan.

3. Pelanggaran kode etik penjurubahasaan lainnya adalah Juru Bahasa Isyarat mengenakan masker selama bertugas. Ekspresi wajah adalah salah satu elemen penting dalam penjuru bahasaan dan tidak boleh tertutup. Ini fatal karena ekspresi Juru Bahasa Isyarat tidak dapat dilihat oleh penonton Tuli dan penyampaian informasi jadi tidak maksimal.

4. Kode etik keempat yang dilanggar dalam penjurubahasaan acara ini adalah penggunaan warna pakaian. Juru Bahasa Isyarat harus mengenakan pakaian gelap polos selama bertugas. Tidak seperti di tayangan ini, Juru Bahasa Isyarat mengenakan jilbab coklat krem dan baju hijau bermotif. Ini benar-benar salah.

5. Space kanan-kiri Juru Bahasa Isyarat terlalu besar. Pengukuran space dilakukan dengan cara menyatukan tangan kanan-kiri di depan dada, atau sekitar setengah hasta kanan-kiri. 

Itulah lima poin yang dituliskan Rezki di instagramnya dan banyak disetujui oleh berbagai komunitas Tuli. Ketua Pusat Layanan Juru Bahasa Isyarat (PLJ), Juniati Effendi, yang merupakan seorang Tuli, langsung mengambil tindakan dengan berkoordinasi dan meminta ketegasan dari Pusat Pemilihan Umum Akses (PPUA), yang menangani disabilitas dalam pemilu, bekerjasama dengan KPU Pusat.

“Itu bukan Juru Bahasa Isyarat (JBI), tapi Juru Sistem Isyarat (JSI), dan ini merupakan pelanggaran. Siapa yang memilih JSI di acara tersebut?” ujarnya geram saat dihubungi melalui Whatsapp.

“Saya sudah sampaikan ke Ketua PPUA untuk menangani pelanggaran kode etik penjurubahasaan ini. Bagaimana bisa menjuru bahasakan menggunakan SIBI, kemudian mengenakan masker saat bertugas, serta warna pakaian yang salah. Banyak sekali pelanggarannya.” Ujar Juniati lagi.

Ketua Pusat Bahasa Isyarat Indonesia (Pusbisindo), Laura Lesmana Wijaya, yang juga seorang Tuli, ikut bersuara mengenai pelanggaran kode etik penjurubahasaan isyarat ini. Ia menyatakan Juru Bahasa Isyarat harus menghargai budaya-budaya Tuli, termasuk di dalamnya adalah menggunakan Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo) dalam penjurubahasaan.

“Bisindo adalah bahasa ibu orang Tuli. Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) yang digunakan pada tayangan debat tersebut bukanlah sebuah bahasa, sehingga tidak dapat dipahami oleh komunitas Tuli. Jadi tidak sepatutnya dilakukan dalam menjurubahasakan informasi penting seperti ini.” Ujarnya saat dihubungi melalui pesan Whatsapp.
 
Qonitatul Atqia, Ketua Gerakan Kesejahteraan Tuli Indonesia (Gerkatin) Kepulauan Riau, ikut menyampaikan kekecewaannya. Saat ditemui di area Piayu, ia menyatakan bahwa Juru Bahasa Isyarat dalam Debat Publik Calon Walikota dan Wakil Walikota Batam kemarin malam tidak dapat dimengerti oleh komunitas Tuli Batam karena tidak memberikan akses penuh mengenai informasi debat, serta melanggar berbagai kode etik penjurubahasaan.

“Kesalahannya fatal, sama saja seperti tidak ada akses Juru Bahasa Isyarat,” protesnya.

“Memberikan aksesibilitas Juru Bahasa isyarat bagi masyarakat Tuli adalah niat yang baik, tapi tetap perlu melakukan riset agar tidak terjadi kesalahan fatal seperti ini, yang dipertontonkan kepada masyarakat luas.” Ujar Nitha menambahkan.

Di tempat yang berbeda, Acendy Avelixvo, seorang Tuli yang tinggal di Bengkong, juga menyatakan hal senada. “Juru Bahasa Isyaratnya tidak professional. Terlalu banyak diam dan tidak menyampaikan informasi sesuai dengan apa yang diucapkan oleh para paslon. Ia terlihat seperti sedang menghafal isyarat, sementara saya menunggu dia berisyarat – dan ternyata, tetap saja isyaratnya tidak jelas. Saya kecewa karena ketidakprofesionalannya yang membuat saya dan teman-teman Tuli Batam tidak mengenal para paslon walikota.” Ujarnya menggunakan bahasa isyarat.

Polemik pelanggaran penjurubahasaan isyarat ini sedang ditangani oleh PPUA bekerjasama dengan KPU Pusat. Informasi selanjutnya akan menunggu perkembangan. (*)