Oleh Cak Ta’in Komari, SS.
BATAM – Ditetapkan sebagai kawasan free trade zone (FTZ) tahun 2007. Itu adalah wujud mimpi indah masyarakat Batam. Otorita Batam berubah nama menjadi Badan Kawasan Batam (BP Batam). Mustofa Wijaya memimpin lembaga tersebut hampir 10 tahun (2006-2016).
Seharusnya Mustofa Cs masa jabatannya baru habis tahun 2019 di mana masa jabatan yang dipegang Dewan Kawasan Kepri dibuat selama 5 tahun. Setelah satu periode pertama 2009-2014, masa jabatan keduanya berakhir tahun 2019. Namun kewenangan Dewan Kawasan yang berada di tangan Gubernur Kepri diamputasi dan ditarik lagi ke pusat di bawah kendali Menko Perek, yang mengakhiri jabatan Mustofa Cs di tengah jalan.
Dia digantikan Hartanto Reksodiputro yang hanya memimpin BP Batam selama 1 tahun 5 bulan. Pada tahun 2018, Hartanto digantikan lagi oleh Lukita Dinarsyah Tuwo. Hanya setahun memimpin BP Batam, jabatan itu diamputasi dengan terbitnya PP 62 Tahun 2019. Bahwa jabatan Kepala BP Batam secara ex-officio adalah walikota Batam.
Walikota Batam, H Muhammad Rudi mengendalikan dua lembaga sekaligus. Ex-officio diharapkan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan krusial yang terjadi di Batam, terutama persoalan pertanahan. Dimana antara Pemko Batam dan BP Batam sempat terjadi tarik menarik kepentingan soal status lahan kampung tua dan ketersediaan lahan untuk infrastruktur pendidikan, kesehatan dan urusan public lainnya. Bahkan ketika masih menjabat Wakil Walikota Batam, Rudi ikut demo bersama masyarakat di BP Batam soal status kampung tua dan permasalahan lahan lainnya.
Rudi juga menjanjikan akan menghapuskan UWTO saat kampanye politik pilkada tahun 2016. Janji itu disambut gegap gempita oleh masyarakat dan menjadi salah satu sebab yang mengantarkannya menjadi Walikota Batam.
Jabatan Kepala BP Batam dirangkap secara ex-officio oleh Walikota Batam disambut gembira masyarakat. Mereka berkeyakinan Rudi akan segera mewujudkan janji untuk menghapuskan UWTO lahan perumahan. Sebagian masyarakat diam. Akademisi, praktisi bahkan dunia usaha bingung menolak atau menerima.
Pilihan akhirnya memang mau tidak mau ya menerima dengan terpaksa. Ada sekelompok kecil saja yang melakukan gerakan kontra menolak penerapan ex-officio itu. Salah satunya penulis sendiri.
Terus terang, penulis tidak habis pikir dengan sikap stake holder yang menerima dengan gembira degradasi status Batam dan kepemimpinannya. Awal dikembangkannya Pulau Batam dipimpin oleh Ketua Otorita Batam, yang diberikan otoritas khusus sepenuhnya oleh Presiden. Langsung diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Jabatan selevel menteri koordinator atau bahkan satu tingkat di atasnya. Langsung bertanggung jawab kepada presiden.
Meski Otorita Batam dibentuk hanya dengan Keppres, tapi otoritas penuh diberikan untuk pengembangan dan pembangunan Pulau Batam. Kepemimpinan itu dirintis Ibnu Sutowo, dikembangkan B.J Habibie dan berakhir di era Ismeth Abdullah hingga tahun 2005.
Setelah era Ismeth Abdullah, jabatan Ketua Otorita Batam dan Kepala BP Batam hanya diangkat dan diberhentikan oleh Menko Perek (Menteri Perekonomian) sebagai Ketua Dewan Kawasan. Turun satu tingkat dengan kewenangan terdegradasi karena semua kebijakan sudah harus meminta persetujuan dari kementerian terkait. Bahkan Dewan Kawasan sempat turun satu derajat yakni di bawah Gubernur yang menunjuk dan mengangkat Kepala BP Batam dan para deputinya. Dilakukan fit and proper tes, tapi hanya sekedar formalitas semata. Itulah kepemimpinan Mustofa cs yang seharusnya 2 periode per 5 tahun. Kewenangan itu ditarik ke pusat kembali di bawah Menko Perek dan menunjuk Hartanto yang dilanjutkan Lukita dalam kurun waktu 3 tahun.
Pertanyaannya, jika kepemimpinan bongkar pasang seperti itu, termasuk saat ini, kapan mereka kerjanya? Masing-masing pemimpin punya program dan gaya yang berbeda. Belum sempat menghasilkan apa-apa, mereka sudah diganti dengan yang lain. Masuklah era kepemimpinan secara ex-officio. Banyak pihak meragukan kebijakan tersebut akan sukses, karena nuansa politik dikhawatirkan terbawa karena jabatan walikota adalah jabatan politik.
Ex-officio sesungguhnya dimaksudkan agar terjadi akselerasi penyelesaian masalah krusial antara BP Batam dan Pemko Batam, karena sudah dalam satu kendali kepemimpinan. Rudi sudah memimpin secara ex-officio itu 2 tahun berjalan (2019-2021). Pertanyaannya, apakah permasalahan status lahan kampung tua dan sengketa lainnya selesai? Apakah janji politik pembebasan UWTO untuk lahan perumahan bisa direalisasikan? Ternyata hingga saat ini persoalan itu belum juga selesai. Mengapa tidak bisa diselesaikan?
Bahkan ditemukan informasi, beberapa organ penting dalam tubuh BP Batam tidak difungsikan sebagaimana mestinya sesuai dengan tupoksi yang ada. Salah satunya adalah jabatan Deputi 3 yang membidangi masalah Pengelolaan Kawasan dan Investasi. Di dalamnya termasuk alokasi lahan kepada pihak kedua. Khusus urusan lahan, Direktur Lahan mengajukan rekomendasi dan persetujuan langsung kepada Kepala BP Batam tanpa melibatkan Deputi 3 tersebut. Benar tidaknya bisa dicroscek kepada para pihak yang sudah dan sedang mengajukan lahan kepada BP Batam? Kepentingan apakah itu?
Kekhawatiran banyak pihak, jabatan ex-officio itu berpotensi dapat mempengaruhi kinerja karena unsur politik akhirnya diakui salah satu tim teknis Dewan Kawasan, Taba Iskandar, dalam perbincangan dengan penulis di suatu kesempatan. Salah satu indikasi itu saat penyaluran bantuan social sembako dari BP Batam ke masyarakat akibat dampak pandemic covid19 senilai Rp. 180 Miliar. Penyerahan sertifikat gratis dari BPN oleh Kepala BP Batam terhadap sejumlah lahan kampung tua menjelang pelaksanaan pilkada. Apakah dengan PP 41 tahun 2021, penggabungan pengelolaan BP Batam, Bintan dan Karimun, oleh Gubernur Kepri tidak berpotensi dipolitisasi? Potensinya sama sebagaimana jabatan ex-officio. Sangat sulit bertindak professional, proporsional dan independen dalam hal terkait jabatan politis, karena sudah pasti punya kepentingan politik baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Kini sudah hadir PP 41 tahun 2021, yang merupakan perubahan ke sekian PP 46 tahun 2007. Jabatan kepala BP Batam ditarik kembali menjadi kewenangan Dewan Kawasan untuk menunjuk dan mengangkatnya. Ex-officio sudah berakhir. Jabatan Kepala BP Batam tanpa ada SK Pengangkatan kembali oleh Dewan Kawasan maka tidak sah secara hukum. Hal ini boleh diperdebatkan kalau memang diperlukan. Mungkin kita perlu mengingat jabatan Jaksa Agung Hendarman Supanji yang menetapkan Yusril Isha Mahendra sebagai tersangka tahun 2010, ternyata tidak diSK-kan kembali Presiden tahun 2009. Yusril melakukan gugatan uji materi UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan di Mahkamah Konstitusi dan memenangkannya. Karena PP No.62 tahun 2019 sudah diubah kembali dengan terbitnya PP No.41 tahun 2021, maka secara otomatis tidak ada jabatan Kepala BP Batam ex-officio oleh Walikota Batam lagi.
Pertanyaannya mungkin, mengapa ini tidak dieksekusi tapi justru muncul pernyataan akan berakhir paling lambat tahun 2024? Pertimbangan terbesarnya adalah supaya tidak menimbulkan gejolak politik yang bisa memperburuk hubungan Walikota Batam, Gubernur Provinsi Kepri dan Menko Perek sebagai Ketua Dewan Kawasan. Secara hukum Walikota Batam, Muhammad Rudi tidak berhak lagi menjabat secara ex-officio sebagai Kepala BP Batam. Semua kebijakan dan keputusan yang diambil oleh yang bersangkutan tentu menjadi cacat hukum sejak PP No.41 Tahun 2021 efektif berlaku dan/atau masa jabatan walikota habis. Kecuali Muhammad Rudi diangkat dan ditunjuk Dewan Kawasan sesuai kewenangan dari PP No.41 Tahun 2021 sebagai Kepala BP Batam kembali.
Penulis sesungguhnya menangkap ada agenda besar dengan diberlakukannya ex-officio tersebut, sayangnya agenda itu tidak bisa dijalankan sesuai rencana. Apa itu? Yang tahu persis yang menjabat dan yang memberikan jabatan karena sejauh ini memang tidak ada paparan yang terbuka dan transparan ke publik. Kita-kita di luar itu paling cuma bisa menebak-nebak yang mungkin jauh dari kebenaran. Sejauh ini hampir tidak ada kebijakan strategis yang dianggap berhasil menjalankan tupoksi menarik investasi ke Batam, yang merupakan tugas utama BP Batam. Yang nampak hanyalah pembangunan infrastruktur yang mungkin lebih sinergi oleh BP Batam dan Pemko Batam, meski secara administrasi harus tetap dipisahkan. Kecuali ada kebijakan menggabungkan kedua lembaga dalam satu wadah organisasi pemerintahan.
Ada hal menarik sesungguhnya untuk semakin didalami terkait terbitnya PP No.41 Tahun 2021. Siapa yang mengusulkan dan membuat draft PP tersebut? Gubernur Kepri saat tidak mungkin, sebab PP tersebut tersebut sebelum dia dilantik dan waktu sebelumnya sibuk dengan urusan kampanye politik. Ada agenda dan kepentingan apa di balik terbitnya PP tersebut? Apakah murni ingin meningkatkan percepatan recovery ekonomi dan pembangunan di BBK atau ada kepentingan politik dan bisnis lebih besar. Riak-riak ketidakharmonisan antara kepemimpinan di Batam dan Provinsi itu sudah berhembus di tengah masyarakat. Yang jelas ex-officio seolah hanya intromeso politik yang entah boleh dibilang gagal atau berhasil. Silahkan membuat interpretasi dan penilaian masing-masing. Cukup dalam hati saja, supaya tidak ada ribut-ribut lagi.