Susah Sinyal Jadi Kendala Digitalisasi Perbankan di Batam

Parkir Boat Pancung di Belakangpadang. Penambang boat pancung dan nelayan menjadi profesi utama warga. Namun sistem pembayaran yang dilakukan tetap menggunakan uang kartal (Foto: istimewa)

AlurNews.com, Batam – Digitalisasi saat ini menjadi salah satu faktor yang kini tidak bisa dihindari, terutama dalam kurun waktu dua tahun terakhir sejak pandemi Covid-19 mulai melanda.

Perubahan dari sisi kebiasaan bekerja dan belajar yang dapat dilakukan dari mana saja, hingga saat ini terus melekat bagi masyarakat Indonesia.

Tidak hanya itu, satu faktor lain yang kini sering dipuji oleh Pemerintah Pusat, adalah sistem pembayaran digital, dalam mimpi besar Digitalisasi Perbankan.

Mimpi ini kemudian menjadi tantangan tersendiri bagi Batam, Kepulauan Riau yang secara geografis berhadapan langsung dengan Singapura.

Perlu diketahui, sejak Desember 2020 lalu Singapura telah memberikan izin Ant dan kongsi Grab, serta Sea Ltd. dan kongsi Greenland Financial Holdings Group Co yang membentuk konsorsium dalam membangun Digital Bank.

Dengan ini, maka Singapura semakin dekat dengan pengurangan kebiasaan dalam menggunakan uang kartal sebagai alat transaksi.

Meski demikian, menurut data dari Bank Indonesia Perwakilan Kepri, perkiraan pengembangan sistem pembayaran digital di Batam menuju ke arah positif.

Dari data Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS), hingga Triwulan I di Kepri ada sebanyak 137.272 merchant atau tenant, telah menerapkan sistem transaksi digital.

Angka ini meningkat sebesar 10,28 persen dibandingkan akhir tahun 2021, dengan jumlah merchant QRIS sebanyak 124.472 merchant.

Dari sisi pengguna sampai dengan Februari 2022 terdapat penambahan jumlah pengguna baru sebanyak 56.600 pengguna, atau meningkat sebesar 92,65% dibandingkan akhir tahun 2021 yang tercatat sebesar 61.086 pengguna.

“Dari data ini, sebanyak 80 persen merchant ada di Batam. Meski memang hingga saat ini merchandise yang menerapkan QRIS mayoritas berada di Hinterland,” ujar Kepala Bank Indonesia Perwakilan Kepri, Musni Hardi Kusuma Atmaja, Jumat (22/4/2022).

Mengenai kendala bagi kawasan diluar Daratan, Musni menjelaskan kendala utama adalah ketersediaan masyarakat jaringan internet oleh penyedia telekomunikasi bagi Hinterland atau pesisir.

Pentingnya menerapkan digitalisasi di suatu wilayah, penekanannya harus dibarengi dengan infrastruktur jaringan yang memadai.

“Bagaimana mau menggunakan suatu aplikasi pembayaran digital apabila jaringannya tidak ada. Itu kendala utama saat ini, apabila hal ini sudah terjawab tentu kami dari BI akan terus mendorong apa yang sudah diterapkan di kawasan Mainland,” tulisnya.

Infrastruktur telekomunikasi yang tidak merata, juga diakui Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Batam, Suhar yang menuturkan jaringan telekomunikasi di pulau memang kerap ditemukan kendala seperti blank spot.

Dari pendekatan pembangunan menara telekomunikasi dikendalai masalah hukum, pertimbangan masyarakat hingga pihak penyedia yang menilai kurang menguntungkan secara bisnis.

Rata-rata lokasi titik yang diajukan untuk pembangunan tower itu berstatus tanah sewa.

“Penyelenggara menyewa pemilik lahan, dan sering kali lahan tersebut tidak jelas legalitasnya,” jelasnya.

Saat ini dari 11 pengajuan menara atau menara telekomunikasi, hanya 7 yang dapat diakses oleh Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Batam.

Bahkan saat ini ada 13 tower yang berdiri di atas lahan hutan lindung dan menunggu proses pemutihan.

“Masalah ini yang harus segera didapatkan jalan keluarnya. Itu yang lagi menjadi prioritas Pemko Batam bagi masyarakat Hinterland,” tulisnya. (Sirait)