Alurnews.com – Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kepulauan Riau, Lagat Siadari menyampaikan sejumlah isu penting menyangkut hasil pengawasan pelayanan publik di Kepulauan Riau tahun 2021 kepada Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI saat rapat kerja dalam masa reses persidangan V tahun sidang 2021-2022 di Aula Wan Sri Beni Dompak, Kantor Gubernur Kepulauan Riau, beberapa waktu lalu.
Lagat menyebutkan, bahwa dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR RI itu pihaknya melakukan survei kepatuhan standar pelayanan publik. Pada tahun 2021, Ombudsman RI Perwakilan Kepulauan Riau mencatat, hanya 3 Pemerintah Daerah di Provinsi Kepulauan Riau yang dikategorikan patuh menerapkan standar pelayanan sesuai Undang-Undang (UU) 25 tahun 2009.
“Hanya Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, Kabupaten Natuna dan Kabupaten Bintan yang mendapatkan predikat zona hijau karena dinilai patuh terapkan standar pelayanan. 5 Kabupaten/Kota lainnya dianggap belum maksimal menerapkan standar pelayanan publik sehingga masuk dalam zona kuning,” sebutnya.
Lagat mengungkapkan, hasil survei itu juga diketahui beberapa instansi pemerintahan.yang memberikan pelayanan mendapatkan aduan paling banyak yakni permasalahan Agraria, Kepegawaian dan Adminduk.
“Laporan Masyarakat Didominasi pelayanan agraria agraria, kepegawaian dan adminduk,” ujarnya
Lebih lanjut, Lagat pun memaparkan hasil survey kepatuhan lainnya yaitu pada Kantor Pertanahan dan Polres se Provinsi Kepulauan Riau serta Badan Pengusahaan (BP) Batam.
Dipaparkannya, pada penilaian di Kantor Pertanahan hanya Kabupaten Anambas yang mendapatkan predikat zona kuning, sedangkan Kantor Pertanahan lainnya telah masuk zona hijau karena dianggap telah memenuhi standar pelayanan. Sementara itu, hasil survei kepatuhan pada Polres justru dikabarkannya kurang menggembirakan.
“Polres seluruhnya hanya masuk zona kuning, bahkan beberapa produk layanannya masuk zona merah yang menunjukkan ketidakpatuhan dalam menerapkan standar pelayanan publik,” tuturnya.
Ia lalu menjelaskan bahwa pada penilaian di Provinsi Kepulauan Riau, instansi BP Batam pun ikut dinilai.
“Terdapat 20 jumlah produk layanan di DPM-PTSP yang dinilai, namun hasilnya hanya masuk zona kuning dengan kategori kepatuhan sedang,” ucap Lagat
Ia pun melanjutkan paparannya dengan menyampaikan hasil tugas pengawasan penerimaan laporan pengaduan pelayanan publik dimana pada tahun 2021 akses pengaduan mencapai 445 dan ditutup karena telah selesai sebesar 84,5 persen
“Tahun 2022 target penerimaan laporan kami adalah 530. Hingga triwulan II telah tercatat sebanyak 279 akses laporan atau setara dengan 52,6 persen dari target. Target penyelesaian laporan diperkirakan akan mencapai 90 persen,” jelasnya.
Lagat menjelaskan bahwa pelapor terbanyak merupakan masyarakat kota Batam (55,1 persen), menyusul Kota Tanjungpinang (15,9 persen) dan Kabupaten Karimun (9,6 persen) dengan substansi laporan yang paling banyak dilaporkan adalah persoalan agraria, kepegawaian, pendidikan, administrasi kependudukan dan hak sipil serta politik.
Pada kesempatan itu, Lagat kemudian menyampaikan tiga isu penting menyangkut pelayanan publik yang ada di Kepulauan Riau agar dapat ditindaklanjuti pada tingkat nasional.
Kasus pertama terkait Pekerja Migran Indonesia (PMI), ia mengatakan beberapa berangkat ke Malaysia secara ilegal menggunakan transportasi kapal dari Batam dan Bintan dengan visa biasa hingga kasus PMI mengalami kecelakaan di tengah laut dan memakan korban jiwa.
“Mereka berangkat menggunakan paspor dengan visa kunjungan biasa selama 30 hari. Karena berangkat tidak sesuai dengan ketentuan perizinan yang berlaku, banyak PMI yang bermasalah di sana,” kata Lagat.
Kasus berikutnya, ia sampaikan terkait penguatan pengawasan pertambangan oleh Inspektur Tambang di Kepulauan Riau pasca pendelegasian wewenang dari Dirjen Minerba ke Gubernur berdasarkan Surat Edaran Menteri ESDM tanggal 29 Juni 2022 lalu, dimana Gubernur akan melaksanakan pendelegasian wewenang dalam penerbitan, pelaksanaan dan pengawasan pertambangan tertentu.
“Jumlah pemeriksa (Inspektur) tambang tidak sebanding dengan luas wilayah yang menjadi area kerjanya. Demikian halnya soal anggaran yang dimiliki sehingga kurang maksimal dalam menjalankan tugas dan fungsi pengawasannya,” lanjutnya.
Tiba pada kasus terakhir Lagat membahas terkait dengan adanya Kawasan Latihan militer TNI Angkatan Laut di pulau Dabo Singkep seluas 18.000 hektar yang dialokasikan oleh Gubernur Riau tahun 1997 ketika Kepri masih menjadi bagian dari provinsi Riau.
“Terdapat banyak hak yang dimiliki masyarakat di atas proyek tersebut, kebun rakyat dan sebagainya,” tegas Lagat.
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kepulauan Riau itu berharap agar pihak-pihak terkait atas isu pelayanan publik tersebut dapat merespon untuk menyelesaikan persoalannya agar memberikan keadilan pada masyarakat.(Bob)