𝘉𝘢𝘨𝘪 𝘮𝘢𝘴𝘺𝘢𝘳𝘢𝘬𝘢𝘵 𝘉𝘢𝘵𝘢𝘮 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘶𝘮𝘶𝘮𝘯𝘺𝘢, 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘨𝘪 𝘬𝘦 𝘔𝘢𝘬𝘢𝘴𝘴𝘢𝘳, 𝘬𝘩𝘶𝘴𝘶𝘴𝘯𝘺𝘢 𝘛𝘢𝘯𝘢𝘩 𝘉𝘰𝘯𝘦, 𝘗𝘳𝘰𝘷𝘪𝘯𝘴𝘪 𝘚𝘶𝘭𝘢𝘸𝘦𝘴𝘪 𝘚𝘦𝘭𝘢𝘵𝘢𝘯, 𝘣𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘩𝘢𝘭 𝘣𝘪𝘢𝘴𝘢. 𝘛𝘢𝘱𝘪 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘢𝘨𝘪 𝘑𝘦𝘧𝘳𝘪𝘥𝘪𝘯. 𝘔𝘦𝘯𝘨𝘢𝘱𝘢?
Makassar
Bagi lelaki berdarah Bugis ini, perjalanan ke Tanah Bone adalah sebuah muhibah, ada perasaan persahabatan dan kasih nan bersejarah. Sekaligus jua berziarah.
Di sana, Jefridin berkontemplasi sembari mengenang perjalanan orang-orang tuanya terdahulu, sebelum akhirnya tiba dengan perahu layar di Selatpanjang, Riau, tempatnya dilahirkan.
Itulah mengapa, Selasa (8/11/2022), usai mengikuti rangkaian Rapat Kerja Teknis Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Rakernis Apeksi) 2022 di Makassar, mewakili Wali Kota Batam H Muhammad Rudi (HMR), ia menyempatkan diri berziarah ke makam leluhur Kerajaan Bone.
“Ziarah kita lakukan untuk mengenang dan menghargai jasa pahlawan Bone atas baktinya terhadap eksistensi Tanah Bone di masa lalu,” ujar suami Hj Hariyanti Jefridin tersebut.
Tempat pertama yang dikunjungi Jefridin adalah, makam Raja Bone Arung Palakka yang merupakan Sultan Bone yang menjabat pada tahun 1672-1696.
Di sana ia tampak khusyu memanjatkan doa yang diperuntukkan para leluhur kerajaan Bone tersebut.
Di sela-sela kunjungan Jefridin mengelilingi komplek pemakaman dan tampak berbincang dengan juru kunci makam.
Kemudian, Jefridin melanjutkan ziarah ke makam Sultan Hasanuddin, di Kelurahan Katangka, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa.
Sultan Hasanuddin adalah Raja Gowa ke-16 dan merupakan pahlawan nasional Indonesia. Dia lahir di Gowa pada 12 Januari 1631 dan mulai memerintah Kesultanan Gowa pada 1653 dengan gelar I Mallombasi Daeng Mattawang Muhammad Baqir Karaeng Bonto Mangngape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla’pangkana.
Semasa hayatnya, ia dijuluki Ayam Jantan dari Timur atau De Haav van de Oesten oleh Belanda, karena keberaniannya dan tak pernah tunduk pada bangsa penjajah itu. Hingga akhirnya ia wafat pada 12 Juni 1670.
Kunjungan selanjutnya, Jefridin menziarahi makam Syekh Yusuf, tokoh ulama besar Makasar yang juga terbaring di Kelurahan Katangka, Kecamatan Somba.
Tak sampai di situ, perjalanan dilanjutkan ke makam pahlawan Nasional, Pangeran Diponegoro, yang terletak di Kelurahan Melayu Kecamatan Wajo.
Komplek makam ini dibangun dengan ciri khas Jawa, disanggah empat pilar. Makam ini bersanding dengan istrinya, R.A. Ratu Ratna Ningsih yang wafat 1865.
Mengapa makam Pangeran Diponegoro ada di Makassar? Bukankah ia putra Sri Sultan Hamengku Buwono III dan R.A. Mangkarawati, yang lahir dengan nama asli Raden Mas Ontowiryo pada 11 November 1785 di Yogyakarta?
Mungkin tak banyak yang tahu bahwa Pangeran Diponegoro menghabiskan tahun-tahun terakhir hidupnya sebagai orang buangan.
Setelah ditangkap pada 28 Maret 1830 oleh pasukan pimpinan Jenderal Hendrik Merkus de Kock, sekaligus mengakhiri kecamuk Perang Jawa (1825-1830) yang amat melelahkan pemerintah kolonial Belanda, beliau beserta sang istri anak dan sejumlah pengikut setianya kemudian dibuang ke Manado.
Tiba pada akhir Mei 1830, rombongan putra sulung Sultan Hamengkubuwono III itu hanya menghabiskan masa di ibu kota Sulawesi Utara tersebut selama empat tahun.
Tahun 1834, mereka kemudian dipindahkan ke Makassar. Selama 21 tahun berikutnya, sosok yang lahir dengan nama Bendara Raden Mas Antawirya tersebut menghabiskan hari-harinya di salah satu sudut penjara Benteng Fort Rotterdam.
Pangeran Diponegoro mangkat pada 8 Januari 1855 pada usia 69 tahun. Sementara sang istri yang setia mendampingi selama masa pengasingan, RA Ratu Ratna Ningsih, wafat pada 1865. Pusara mereka berdampingan. (*)