Kisah Raja Hasmidah, PMI Asal Natuna Pilih Dipenjara Demi Pulang ke Indonesia

“Ada wanita yang sudah berusia lanjut, ada yang hamil. Dan beberapa yang memang kondisinya memprihatinkan karena stres akibat tidak bisa pulang. Dari mereka hanya sedikit yang punya paspor,” ungkapnya.

Selama empat minggu berada di lokasi penampungan ini, Awe juga menceritakan mengenai bentuk kekerasan fisik, maupun kekerasan seksual yang dihadapi oleh para pekerja di lokasi penampungan.

Bahkan bentuk kekerasan fisik dan seksual, juga diakuinya akan sangat dirasakan oleh PMI perempuan yang berasal dari Indonesia. Para perempuan dari Indonesia ini, kerap dianggap sebagai piala untuk diperebutkan oleh pengurus penampungan tempatnya berada.

“Ada beberapa malam beberapa Tenaga Kerja Wanita (TKW) dipanggil keluar ruangan, dan kemudian kembali lagi setelah tengah malam. Dari sana saya mendengar cerita bahwa PMI dari Indonesia, seperti trophy di sana,” tegasnya.

Namun selama empat minggu ini, Awe kemudian mendapatkan informasi bahwa perusahaan tempatnya mendaftar. Ternyata dikendalikan oleh Warga Negara Asing (WNA) keturunan Arab yang berada di Jakarta.

Dimana perusahaan ini hanya bertanggungjawab untuk biaya pemberangkatan, dan mencari tenaga kerja dari Indonesia.

“Selama berada di penampungan, perusahaan saya mendaftar itu hilang dan tidak ada komunikasi lagi. Intinya saya sebagai perempuan, juga harus tetap waspada dalam menjaga diri,” paparnya.

Empat minggu berlalu, Awe kemudian diberangkatkan menuju Arab Saudi melalui jalur darat. Di sini Awe mengaku telah mendapatkan visa yang dipegang oleh pendamping.

“Saya tidak tahu itu visa apa. Karena saya tidak diizinkan pegang dan lihat. Semua diurus oleh agen yang mendampingi kami di perjalanan menuju Arab Saudi,” tuturnya.

Melakukan perjalanan menggunakan transportasi darat selama satu hari, Awe dan rekan-rekannya kemudian dibawa ke penampungan milik perusahaan penyalur tenaga kerja di Arab Saudi.

Dari sini Awe kemudian mendapat pekerjaan sebagai PRT bagi majikannya yang bertempat tinggal di Madinah selama 30 hari, kemudian dipindahkan untuk bekerja bagi majikan lain yang tinggal di Riyad.

Namun selama bekerja beberapa bulan, Awe mengaku hanya tiga bulan mendapat honor dari pihak perusahaan. Hal ini kemudian membuat dirinya berontak, dan kerap mempertanyakan gajinya.