Kisah Raja Hasmidah, PMI Asal Natuna Pilih Dipenjara Demi Pulang ke Indonesia

“Namun bukan jawaban, saya malah sering dapat kekerasan fisik. Dari sini saya sadar akan kesalahan saya, dan saya yang sepertinya menjadi korban perdagangan orang. Hingga akhirnya saya bisa mendapat kesempatan untuk melarikan diri dengan bantuan anak majikan saya,” terangnya.

Kesempatan ini diakuinya berawal dari informasi yang diberikan Awe kepada anak majikannya. Di saat ia mendapat pekerjaan untuk mengurus manula. Awe mengaku mengetahui pekerjaan sang anak yang merupakan anggota kepolisian setempat.

Dari cerita ini, Awe kemudian mendapat penjelasan bahwa keberadaannya di Arab Saudi masuk kedalam kategori “Undocumented” atau bekerja sebagai PMI non prosedural.

“Saya ingat saya bercerita di tanggal 26 Juni 2021. Kemudian anak majikan saya menyebut bahwa saya adalah PMI non prosedural. Apalagi begitu ia mengetahui bahwa visa saya adalah visa untuk ziarah. Dia menyebut hal ini membahayakan bagi saya dari sudut pandang hukum. Walau demikian, ia sempat memberikan opsi untuk kembali ke Indonesia. Namun harus melalui prosedur hukum, dan harus menjalani kurungan penjara di Arab Saudi,” paparnya.

Walau demikian, Awe mengaku belum menerima pilihan ini dikarenakan ingin memperjuangkan hak atas gaji selama bekerja beberapa bulan sebagai pekerja di perusahan penyalur tenaga kerja tersebut.

Namun bukannya mendapat gaji, Awe kemudian ditawarkan untuk bekerja di Desa Laynah yang merupakan desa yang berada di wilayah perbatasan Arab Saudi.

Awe mengaku terpaksa menerima tawaran ini, hanya untuk memperjuangkan makanan layak untuk dikonsumsi. Bahkan beberapa kali, Awe yang merupakan pekerja dengan sistem pulang balik penampungan, kerap membawa makanan dari rumah majikannya untuk disantap bersama.

“Karena kalau ada yang tidak mau mengambil pekerjaan yang dikasih. Maka dia tidak akan mendapat makan, hanya dikasih kurma saja. Saya pernah merasakan itu saat saya berontak mempertanyakan gaji saya selama bekerja. Intinya saya dan teman-teman di penampungan, mau keluar untuk bisa dapat makan,” lirihnya.

Tiba di Laynah, Awe menuturkan bahwa ia bekerja selama 22 jam dalam sehari, sebagai PRT di rumah majikannya dan menjaga keempat anak majikannya. Pada momen ini, Awe mengaku sempat melawan majikannya akibat pekerjaan yang hanya memperbolehkannya beristirahat selama dua jam dalam sehari.

Kepada Awe, majikannya menyebut telah membayar upah sebesar Rp16 juta kepada pihak perusahaan. Dari penjelasan ini, Awe kemudian memberanikan diri untuk menceritakan bahwa uang tersebut tidak akan sampai kepadanya sebagai pekerja.

“Barulah mereka sedikit iba mendengar cerita saya. Di desa itu saya juga tidak sampai satu bulan, sebelum akhirnya saya dikembalikan ke pihak perusahaan. Saat kembali ini, saya memantapkan diri untuk mengambil pilihan kembali ke Indonesia melalui jalur penjara. Ide ini kemudian saya ceritakan kepada dua rekan saya yang sama-sama berasal dari Indonesia,” terangnya.

Untuk menjalankan rencana pelarian diri ini, yang akan dijalankan menjelang akhir tahun 2021 lalu. Awe mengaku kembali menerima pekerjaan yang ditawarkan oleh perusahaan. Selama tiga hari bekerja di tempat baru, Awe mendapatkan kesempatan menghubungi anak majikannya yang merupakan anggota kepolisian.

Dari komunikasi ini, pihak kepolisian akhirnya mendatangi kediaman majikan Awe bekerja, dan langsung mengamankan Awe. Namun sebelum dibawa ke kantor polisi, Awe juga menuturkan bahwa pihak kepolisian juga telah mengamankan dua temannya di dua lokasi berbeda.