Aliran Dana Miliaran Rupiah Mengalir untuk Kampanye LGBT, Batam Disebut Jadi Titik Kumpul?

Bendera simbol LGBT. (Foto: kemkominfo)

AlurNews.com – Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Riau, menemukan komunitas pelajar terindikasi LGBT dikendalikan dari Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri). Bahkan para pelajar yang terindikasi LGBT, mendapat bantuan dana dari luar negeri untuk melakukan kampanye LGBT.

Aktivis Pemerhati Anak Kepri, Erry Syahrial menuturkan temuan dari PPA Riau, dapat menjadi salah satu bukti lain yang memperkuat dugaan bahwa komunitas LGBT saat ini semakin gencar dalam memperbesar komunitas mereka.

“Bahkan ada di beberapa buku LKS bagi pelajar. Memang tidak terang-terangan, namun dalam buku itu ada bahasa yang mengadiksi pikiran anak bahwa itu adalah hal wajar,” terangnya saat dihubungi, Jumat (2/7/2023).

Baca juga: Komunitas LGBT di Kepri Sasar Pelajar, Batam Diduga Jadi Salah Satu Perekrutan Terbesar

Pria yang juga menjabat sebagai Sekretaris Lembaga perlindungan anak (LPA) Batam ini, juga menyoroti mengenai penyebutan Batam sebagai titik kumpul. Untuk itu, ia mengajak seluruh institusi terkait agar bersama-sama melakukan penelitian terkait banyaknya komunitas LGBT di wilayah Kepri.

Erry juga menuturkan dugaannya, terkait hubungan komunitas LGBT di wilayah Kepri, dengan komunitas LGBT di Singapura terkait dugaan pendanaan bagi kampanye terselubung.

“Setahu saya Batam itu terbanyak, setelah itu ada di Pinang. Namun ada berapa banyak komunitasnya, itu harus dilakukan penelitian. Belum lagi dugaan hubungan dengan komunitas di Singapura,” terangnya.

Terkait komunitas LGBT di Kepri, Erry menuturkan saat ini ada indikasi dan dugaan bahwa komunitas tersebut dengan masif menyasar kalangan pelajar. Baik secara langsung, atau melalui berbagai platform media sosial.

Hal ini juga dibuktikan dengan temuan PPA Riau, terkait komunitas LGBT yang melakukan perekrutan anggotanya ke daerah-daerah dan tergabung melalui grup WhatsApp.

Dimana setelah masuk ke dalam komunitas ini, para pelajar tersebut akan sangat kesulitan untuk dapat keluar dan kembali ke kodratnya sebagai manusia.

“Setelah bergabung akan sangat sulit untuk keluar. Bahkan ada indikasi dan dugaan sengaja menjadikan anak sebagai korban, untuk kemudian merusak mentalnya,” paparnya.

Walau demikian, Erry juga mengkritisi masih kurangnya upaya pencegahan baik dari Pemerintah Daerah dan intitusi terkait.

“Sosialisasi dan upaya pencegahan masih sangat kurang. Baik di lingkungan pendidikan dan masyarakat. Kalaupun ada hanya oleh beberapa pihak tertentu,” sesalnya. (Nando)