OPINI: Bung Hatta, Kepemimpinan Yang Hilang

Uba Ingan Sigalingging. (Foto: Istimewa)

Untuk Pak Gerisman dan Warga Rempang-Galang

Oleh: Anggota DPRD Kepri Uba Ingan Sigalingging, S.Sn.

BUNG HATTA

Sebagai proklamator kemerdekaan RI serta Wakil Presiden, Bung Hatta memiliki integritas moral dan kualitas intelektual yang mengagumkan. Kemampuannya dalam menyampaikan pikiran dan menerjemahkan semangat jamannya menjadi warisan sejarah yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia.

Disamping kejujurannya, Bung Hatta adalah sosok yang terkenal dengan kesederhanaan, memiliki kedisiplinan dan moralitas yang sangat dihormati oleh semua kalangan. Tidak berlebihan jika Bung Hatta menjadi negarawan yang keteladannya menjadi acuan penting bagi seluruh rakyat Indonesia dan khususnya bagi pejabat pemerintah dan politisi di dalam rangka berbangsa dan bernegara.

Dengan kekuatan intelektual serta integritas moral yang tak diragukan, ia berani berbeda pendapat dengan Presiden Soekarno ketika itu. Perbedaan pendapat dalam hal prinsip-prinsip demokrasi politik berakhir dengan mundurnya Bung Hatta sebagai Wakil Presiden pada tahun 1956.

Bung Hatta, seperti yang ditulis oleh Majalah Tempo, Edisi Kemerdekaan RI, 12-19 Agustus 2001, dikenal sebagai seorang penganut sosialis. Saat menjadi mahasiswa di Belanda, dasar-dasar pemikirannya dibentuk dikalangan sosialis. Ia banyak menulis di bulletin sosialis macam De Vlaam, De Sosialist, Recht in Vrijheid.

Tapi, yang mencolok dari sikapnya politiknya itu, ia tumbuh menjadi seorang sosialis yang rasional. Para pengamat bahkan menganggap bahwa sesungguhnya sikap rasional Hatta “secara tak sadar” memberikan sumbangan pembentukan awal republik ini.

Tonggak politik Hatta setelah proklamasi adalah perannya dalam mengubah Demokrasi Presidensial ke Demokrasi Parlementer. Melalui Maklumat X tanggal 16 Oktober 1945, Hatta meneken pergantian itu. Di dalam buku Indonesia Free: a Political Biography of Mahammad Hatta, peneliti dari Universitas Cornell, Mavis Rose, menyatakan bahwa memang dalam pemikiran Hatta yang ideal, kekuasaan yang dibagi (secara) luas adalah yang paling mendekati cita-citanya tentang demokrasi.