Pakar hukum Daniel Lev menganggap bahwa kabinet parlementer di masa lalu memang jauh lebih bermutu dibandingkan dengan sistem presidensial dalam era kepemimpinan presiden mana pun di Indonesia. ”Pada periode parlementer Hatta, elite yang ada bermutu bagus”. Sedangkan zaman Orde Baru dan sekarang sistem parlementer memiliki citra buruk.”
Setelah mundur dari pemerintah, Hatta semakin mengembangkan gagasan-gagasan ekonomi-politiknya. Dia berkembang menjadi seorang pemikir Indonesia yang berusaha bergulat menemukan visi ekonomi yang kontekstual.
Ekonom Anne Both pernah mengatakan bahwa sejarah perekonomian Hindia Belanda belum pernah dikaji secara seriusm oleh para pemikir kita. Akibatnya, hingga kini para pemikir Indonesia tidak melahirkan sebuah paradigma ekonomi yang mengakar. Ini bebeda sekali dengan keadaan di Asia Selatan.
Banyak pakar sejarah dan ekonomi India dan Pakistan yang telah melakukan penilitian sejarah ekonomi colonial anak benua Asia Selatan hingga berhasil melahirkan sebuah kanon pemikiran ekonomi yang ingin membebaskan diri dari permainan kekuatan pasar bebasa. Tradisi ini kemudian sangat mempengaruhi pemikiran para nasionalis India.
Corak pemikiran demikian, misalnya, bergaung pada ekonom seperti Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi 1988. Sama seperti Sen, komitmen Hatta terhadap hak asasi manusia kuat sekali,” kata Chatib Bisri.
Hatta mungkin belum menghasilkan “kanon pemikiran” semacam itu. Tapi obsesinya adalah ingin melumerkan struktur ekonomi yang dipatrikan para administrator Belanda: Ide koperasi Hatta itu sesungguhnya untuk melemahkan konsep pamong praja, karena pamong praja adalah warisan kolonial,” kata Daniel Lev. Banyak pendapat bahwa gagasan koperasi Hatta masih relevan sampai kini, meski harus di interpretasikan ulang menurut perubahan-perubahan yang ada.
Tak lama setelah mundur dari pemerintahan, 1957, Hatta mulai merasakan sulitnya hidup orang biasa. Ia bukan cuma keteteran membayar tagihan listrik, gas, dan air minum, juga tak mampu melunasi pajak mobil yang dibelinya dengan subsidi pemerintah.
Hatta bahkan tak sanggup mengangsur tagihan jaminan telepon untuk villanya di Megamendung karena jumlahnya berkali-kali lipat dari uang pensiunnya. “Terserahlah kalau (telepon) mau dicabut,” kata Hatta melalui surat kepada Dirjen Pos, Telegraf, dan Telepon.
Sebagai pensiunan, Hatta menerima “sumbangan lauk-pauk” Rp1.000 sebulan. “Apakah ini bukan suatu penghinaan kepada RI?” katanya kepada Menteri urusan Anggaran Negara. “Makanan kucing saya saja tidak akan kurang dari sebegitu sebulan.” Hatta punya contoh: nasibnya sendiri kepada Frans Seda, Menteri keuangan tentang tagihan listrik dan gas-tidak termasuk rekening air-yang jumlahnya sudah melebihi uang pensiunnya. “Permulaankah ini dari kolonial ekonomi?” tanyanya dengan waswas.
Agaknya akan sukar untuk percaya bahwa Hatta pun bisa kekurangan uang. Tetapi gajinya pada awal tahun 1950 hanya Rp3.000. Beberapa tahun kemudian , naik menjadi Rp5.000. Kenaikan ini semulanya ditolaknya, tetapi akhirnya ia menerima juga. Sebab, jika ia tetap menolak, akibatnya gaji pejabat lain, termasuk gaji perdana menteri, akan ikut mandek.