Setelah mundur dari jabatannya sebagai Wakil Presiden pada Desember 1956, Hatta mulai menghadapi kenyataan pahit dalah hidupnya. Pada saat itu Hatta memerintahkan I.Wangsawijaya, sekretaris pribadinya, untuk mengembalikan dana taktis.
Padahal, dana taktis tersebut tidak perlu dipertanggungjawabkan. Dengan segala kekurangan, Hatta menolak tawaran beberapa perusahaan, termasuk perusahaan asing, untuk menjadi komisaris perusahaan. Mengapa?
Alasannya, “ Apa kata rakyat nanti?” Ia khawatir bahwa perjuangannya membela rakyat tidak akan murni lagi, dan ia mudah dituduh meninggalkan rakyat bila ia menjabat komisaris sebuah perusahaan. Dalam otobiografinya, Hatta menulis bahwa memang ia memperoleh honorarium dari bebebrapa buku yang ditulisnya.
Ia juga mengaku bahwa beberapa kawannya membantu dia dalam menjalani hidup sekeluarga dan ia menerimanya karena kawan-kawannya memberi bantuan itu dengan ikhlas.
Pada saat keterpurukan negeri kita saat ini, sosok Hatta menjadi satu dari sedikit tokoh yang bercahaya. Indonesia, tentu saja, apalagi Minangkabau khususnya, memerlukan banyak Hatta. Bukan hanya pemikiran dan sikap politiknya, tetapi juga integritas moral dan kwalitas intelektualnya akan menjadi monumen teladan di hati rakyat Indonesia.
Dalam akhir risalah demokrasi Kita, Hatta mengutip kalimat penyair Jerman, Schiller: “Suatu abad besar telah lahir. Namun ia menemukan generasi kerdil”. Itu adalah kritik Hatta terhadap para pemimpin (baca: pejabat) karena gagal menerjemahkan amanat penderitaan rakyat.
Perilaku kebodohan “generasi kerdil”, sebagaimana dimaksudkan Schiller, mendapat pembenaran sebagaimana yang dipertontonkan oleh pejabat pusat dan daerah. *