
AlurNews.com – Komisi IV DPR RI memanggil sejumlah kepala daerah di Kepri terkait reklamasi dan produksi arang bakau yang ada di Kepri. Sejumlah kepala daerah yang dipanggil untuk rapat dengar pendapat (RDP) ini antara lain Wali Kota Batam, Bupati Lingga dan Bupati Karimun.
Agenda utama dalam RDP tersebut adalah membahas izin pemanfaatan kayu bakau di Provinsi Kepulauan Riau. RDP tersebut merupakan tindak lanjut kunjungan kerja spesifik Komisi IV DPR RI ke Provinsi Riau pada tahun kerja 2022 hingga 2023.
Ketua Komisi IV DPR RI, Sudin menyayangkan pemanggilan para kepala daerah untuk RDP ini tidak membuahkan hasil, sebab ketiga kepala daerah tersebut berhalangan hadir.
Baca Juga: Kampung Tua Bakau Serip Kota Batam Masuk 50 Besar ADWI 2022
Akibatnya RDP yang dilakukan pada tanggal 29 Agustus 2023 ini mendapat protes keras dari semua Fraksi di Komisi IV DPR RI.
Sebagaimana diketahui pemerintah pusat dalam setahun terakhir ini aktif melakukan rangkaian kegiatan sidak atas kerusakan lingkungan yang marak di Kepri.
Selain DPR RI, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Badan Restorasi Gambut
dan Mangrove (BRGM) turut serta menertibkan berbagai pelanggaran lingkungan baik di kawasan hutan maupun di luar kawasan.
Hasilnya, banyak ditemukan aktivitas reklamasi ilegal, penimbunan mangrove, tambak udang ilegal dan arang berbahan kayu bakau ilegal. Banyak perusahaan diduga melanggar hukum, diantaranya PT AMP, PT PGM, Koperasi HKTI TBI, PT PJL, PT DIP, PT RSC, PT PBJM, PT DMP, PT TSJU dan PT GB.
“Karena itu yang kami panggil adalah kepala daerah yang bertanggungjawab dan bisa mengambil keputusan, mengingat masalah ini adalah hal yang sangat penting sekali. Jadi kalau sibuk, kami semua juga sibuk,” kata Sudin.
Dia lantas memaparkan permasalahan di Batam ini sudah sangat carut marut sekali. “Bahkan Kami sudah menyegel 11 titik penampungan arang kayu bakau di Batam. Termasuk reklamasi di Batam,” tambahnya.
Ia mengatakan ada perusahaan yang mengaku sudah mendapatkan izin dari BP Batam tapi analisis dampak lingkungan (Amdal) nya belum ada. Ada yang sudah membayar sanksi administratif tapi surat SK Pelanggarannya tidak ada atau belum terbit.
“Selain itu, ada beberapa wilayah di Rempang dan Galang juga ditemukan berbagai pelanggaran,” ujarnya.
Sudin juga mengatakan banyak tambak udang di hutan yang tidak berizin. Namun, DPR RI tidak serta merta menyalahkan pemerintah daerah, mengingat di sana ada BP Batam dan juga KLHK yang ternyata tidak menjaga wilayahnya.
“Satu lagi, di Kabupaten Lingga, menurut informasi para bos atau cukong yang mempunyai tempat penampungan arang kayu bakau izinnya resmi. Bahkan Kabupaten Lingga mengeluarkan Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu hingga 60 tahun, sedangkan HGB dan HGU saja 25 tahun,” tutur Sudin.
Sudin mengatakan bakau di Batam makin lama makin berkurang, hal ini membuat kebijakan Presiden Jokowi membuat BRGM yang menelan dana triliunan tiap tahun menjadi sia-sia karena bakaunya ditebang.
“Pak Presiden menanam Mangrove di jembatan 2 Barelang (Pulau Setokok), tapi di satu sisi lain di pulau terjadi penebangan,” kata dia.
Sudin juga mendapatkan informasi dari para cukong yang dipanggil ke RDP bahwa bahan arang yang ditebang bukan pohonnya tapi rantingnya.
“Saya enggak goblok-goblok amat. Saya juga punya teman-teman yang mengerti berapa tahun pohon mangrove untuk mencapai diameter 10 cm. Itu membutuhkan waktu puluhan tahun. Bayangkan dua gudang dapat mengekspor 10 ton arang per bulan. Pengusaha boleh untung tapi jangan segala cara dihalalkan. Yang bisa menjaga bumi kita cuma kita, terbayang tidak kalau di Batam itu ditebangi mangrovenya? Akan tenggelam Kota Batam,” ujar Sudin berang.
Menurut dia, Kota Batam tidak punya sumber air yang bagus kecuali penampungan air (waduk), tapi kenyataannya resapan-resapan airnya (catchment area) tidak dijaga.
“Kalau ada bencana yang disalahkan yang di atas, kalau penebangannya brutal lalu terjadi pengundulan terus longsor, ngomongnya cuma cobaan dari yang atas tapi tidak koreksi diri,” tambahnya lagi.
Founder Akar Bhumi Indonesia (ABI), Hendrik Hermawan, saat dikonfirmasi mengatakan, masalah tersebut menjadi perhatian serius pihaknya, mengingat ABI juga menemukan banyak lahan berstatus di luar kawasan hutan.
“Kami menemukan banyak juga lahan berstatus di luar kawasan hutan namun existing-nya berupa bakau yang merupakan ekosistem penting bagi Kepri yang terdiri dari pulau-pulau kecil,” ujarnya.
Ia mengatakan ABI akan memonitor kebijakan pemerintah pusat. Menurut dia dengan adanya moratorium arang berbahan kayu bakau, bukan hanya perubahan kayu menjadi arang, namun juga hilangnya ekosistem bakau yang dikonversikan menjadi daratan juga perlu kajian lingkungan yang lebih ketat. (Arjuna)