AlurNews.com – Persoalan kapal MV Seniha berjalan sampai bertahun-tahun, dari mulai disita sejak 2016 lalu. Badan Pengusahaan (BP) Batam dan juga PT Asta Samudera; agensi kapal, saling tak dapat titik temu meski telah melangsungkan beberapa kali perundingan.
Sejak beralih kepemilikan, MV Seniha tidak melakukan kegiatan apapun. Perbedaan tata cara perhitungan akibat penetapan sita jaminan kapal masih menjadi pokok permasalahan.
Badan Usaha Pelabuhan (BUP) BP Batam, diketahui menagih biaya labuh tambat atas MV Seniha yang berlangsung sampai tanggal 30 April 2019 sebesar Rp 34 miliar.
Baca Juga: Pelabuhan Internasional Sekupang Banjir, BP Batam Pastikan Penumpang Aman
Sementara kapal tersebut masih berstatus sita jaminan oleh Pengadilan Negeri (PN) Batam yang jelas tidak melakukan aktvitas apapun.
Perwakilan prinsipel, Ari Salfitra mengatakan, berdasarkan notulen yang diterbitkan KSOP setempat, pemilik kapal mencurigai besaran dari total tagihan labuh tambat MV Seniha.
Dari situ, disepakati pula dalam bentuk notulen agar dibentuk tim kecil. Tim ini diprakarsai oleh BP Batam. Dilibatkan juga BPKP dan pihak-pihak yang dianggap perlu, termasuk KSOP.
Lantaran tak terealisasinya masalah labuh tambat kapal, di November 2022, prinsipel melaporkan sejumlah oknum pejabat di BP Batam ke Polda Kepri terkait adanya dugaan pemalsuan surat.
“Ternyata, menurut penyidik memang ada pemalsuan sehingga ada penetapan tersangka dari Polda Kepri,” ujar Ari, beberapa waktu lalu.
Terkait masalah penghitungan labuh tambat tersebut, akhirnya pada 5 Juni 2023 ada undangan oleh KSOP terkait hal itu.
“Yang diundang adalah Direktur BUP BP Batam, BPKP, Ditreskrimum Polda Kepri, serta Direktur Naninda dan PT Asta Samudera. Terjadilah notulen lagi yang pada akhirnya terbentuk tim kecil tersebut. Lalu, terkoreksi di BPKP dari angka Rp34 miliar menjadi mungkin ada 50 persen dari nilai itu bahkan lebih, sehingga adanya pemberitahuan dari BPKP secara lisan,” ujarnya.
Dalam tim kecil yang disebutkan prinsipel, yang terlibat di dalamnya adalah BPKP, SPI atau pemeriksa internal BP Batam, dan BUP BP Batam. Seiring berjalannya waktu, SPI melakukan audit ulang dan selesai pada 28 Agustus. Pemberitahuan disampaikan lewat lisan kepada prinsipel.
“SPI seharusnya memberikan hasil penghitungan itu ke BUP BP Batam berdasarkan kesepakatan bersama. Namun di dalam perjalannya, karena pihak BP ada tersangka tiga orang, jadi surat penghitungan yang terkoreksi tadi dikirimkan kepada Kepala BP Batam,” katanya.
Surat yang terkoreksi untuk penghitungan labuh tambat itu, dipelajari lagi oleh pimpinan SPI selama sekitar dua pekan.
“Selepasnya, PT Asta Samudera menyatakan bahwa surat tersebut harus dilaporkan kepada Kepala BP Batam. Jadi hampir satu bulan dari Kepala BP Batam katanya sudah di disposisi kepada Waka (wakil kepala). Jadi BP Batam ini seperti instansi pertahanan negara, tidak terbuka. Padahal mereka itu pelayan publik,” kata Ari.
Jadi, menurutnya, MV Seniha secara hukum internasional sudah tidak ada masalah lagi. Pada 4 Agustus lalu, seluruh pihak sudah menyatakan kapal tak berperkara. Prinsipel pun menyesalkan hal itu lantaran terkesan ditarik-ulur.
“Semuanya sudah clean and clear. Tinggal menunggu pembayaran labuh tambat saja ke BP Batam. Karena tagihannya Rp34 miliar, pemilik keberatan sebab ada sesuatu yang mengganjal. Itulah mengapa kita minta dikoreksi ulang. Kapal itu dihitungnya bertambat, padahal berlabuh. Kemudian status kapal itu adalah perkara sita. Lalu, ada docking, tapi tidak dihitung di situ,” terangnya.
Ari menyebut, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2016, serta Permenhub Nomor 72 tahun 2017 dan Nomor 77 tahun 2016, bahwa setiap kapal yang tidak melakukan kegiatan atau beraktivitas, maka pihak otorita bisa memberikan biaya labuh tambat maksimal nol persen.
“Intinya adalah kenapa pembayaran labuh tambat ini seperti kita dipermainkan. Karena perwakilan kita mendapat statement dari mereka bahwa kapal ini masih ada gugatan perdata. Ini sebenarnya terpisah, yang kita laporkan ke Polda itu adalah pemalsuan dokumen, sedangkan gugatan perdata yang sudah inkrah dua kali bukan menjadi bagian pembayaran labuh tambat,” kata dia.
Lamanya huru-hara MV Seniha ini pun menimbulkan kerugian yang cukup besar dari si pemilik. Secara materil, per harinya mengeluarkan dana sekitar 400 USD. Jumlah tersebut tidak termasuk biaya perawatan, honor penjaga kapal dan pengurusan dokumen lainnya.
Hal itu berlangsung sejak tanggal 4 Agustus 2022. Akibat dari itu, kata Ari, PT Asta Samudera sudah pasti dikenakan penalti oleh pihak yang menunggu kapal MV Seniha berlayar. Besaran penalti pun terbilang lumayan, hitungannya kurang lebih 0,8 persen per hari dari 2 juta USD.
“Yang ingin kita sampaikan, kok, pelayanan di BP Batam ini menunggu seorang Wakil Kepala BP hampir satu bulan dengan berbagai alasan. Kenapa kita paksakan? Karena kondisi kapal sudah miring. Jadi dimohonkan segera untuk menuntaskan persoalan ini sebab kapal ini sudah tidak ada masalah,” tutup dia.
Alurnews mengonfirmasi terkait persoalan ini kepada BP Batam, pada Minggu (29/10/2023). Beberapa pertanyaan disampaikan, namun pihak otorita dalam hal ini Kabiro Humas dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait, hanya menyebut jika MV Seniha sedang berproses hukum.
“Sedang dalam proses hukum. Kita ikuti dan taati saja yang sedang berjalan,” katanya lewat pesan singkat. (Arjuna)


















