Pencerahan Hukum: Tak Bisa Memenuhi Perjanjian dapat Ditarik ke Ranah Pidana

Dr Alwan Hadiyanto SH MH

Oleh: Dr Alwan Hadiyanto SH MH
(Kaprodi Magister Hukum UNRIKA, Dosen Konsultan Hukum, Lawyer, Saksi Ahli Pidana Batam-Kepri, Mediator)

Tidak bisa memenuhi perjanjian dapat ditarik ke ranah pidana apabila memenuhi unsur adanya nama palsu atau jabatan palsu, keadaan bohong atau itikad buruk dari salah satu pihak.

Pada prinsipnya, perjanjian merupakan hubungan perdata, apabila orang yang berjanji tidak memenuhi janji yang telah ditentukan, maka berdasarkan pasal 1238 KUHPerdata, wanprestasi yaitu “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetapi lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”.

Sedangkan terkait perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yaitu: ”Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”.

Biasanya seseorang dikatakan wanprestasi jika melanggar suatu perjanjian yang telah disepakati dengan pihak lain sedangkan seseorang dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum jika perbuatannya bertentangan dengan hak orang lain atau dengan kewajiban hukumnya sendiri atau bertentangan dengan kesusilaan.

Dalam hal orang melakukan wanprestasi atau cedera janji.

Pada Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor. 4/Yur/Pid/2018 yang menyatakan bahwa :

“Para pihak yang tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian yang dibuat secara sah bukan penipuan, namun wanprestasi yang masuk dalam ranah keperdataan, kecuali jika perjanjian tersebut didasari dengan itikad buruk/tidak baik”

Pertanyaannya adalah kapan seseorang yang tidak memenuhi sebuah perjanjian dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi, sehingga penyelesaian perkaranya dilakukan secara perdata, dan kapan seseorang dikatakan telah melakukan penipuan sehingga penyelesaian perkaranya dilakukan secara pidana.

Suatu tindakan ingkar janji atas pejanjian dapat dikatakan telah melakukan penipuan apabila sebelum terjadinya perjanjian salah satu pihak melakukan hal-hal berikut:

  1. Memakai nama palsu
  2. Kedudukan palsu
  3. Menggunakan tipu muslihat
  4. Rangkaian kata bohong

Hal ini sejalan dengan Putusan No. 1689 K/Pid/2015 (Henry Kurniadi) yang menyatakan:

“Bahwa alasan kasasi terdakwa yang menyatakan kasus terdakwsa bukan kasus pidana melainkan kasus perdata selanjutnya hutang piutang, antara terdakwa dengan Astrindo Travel tidak dapat dibenarkan karena Terdakwa dalam pemesanan tiket tersebut telah menggunakan nama palsu atau jabatan palsu, hubungan hukum keperdataan yang tidak didasari dengan kejujuran, dan itikad buruk untuk merugikan orang lain adalah penipuan.”