Nuryanto Sebut RUU Penyiaran Ancaman Demokrasi, Mengingatkan Masa Orde Baru

RUU penyiaran ancaman demokrasi
Aliansi Jurnalis Kepri yang berasal dari berbagai organisasi jurnalis di Kepri menggelar aksi tolak RUU Penyiaran di Kantor DPRD Batam, Senin (27/5/2024). Foto: AlurNeews.com/Arjuna

AlurNews.com – Ketua DPRD Batam, Nuryanto merespons aksi penolakan terhadap RUU Penyiaran yang dilakukan oleh para wartawan yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Kepri. Ia menyebut RUU Penyiaran itu menjadi ancaman demokrasi dan mengingatkan dengan masa orde baru.

Nuryanto menemui para jurnalis yang melakukan aksi di Kantor DPRD Batam, Senin (27/5/2024). Ia mengatakan DPRD Batam akan menyampaikan aspirasi para jurnalis kepada DPR RI.

Cak Nur, sapaan akrabnya, menilai RUU Penyiaran yang sedang digodok ini berpotensi menghidupkan kembali orde baru yang otoriter. Baginya kebebaaan pers lahir dari reformasi yang diperjuangkan oleh masyarakat.

Baca Juga: JMSI Tolak RUU Penyiaran yang Bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Pers

“Indikasinya apa kalau kemerdekaan pers ini direvisi dan akhirnya ruang lingkup jadi sempit. Ini tak boleh, itu tak boleh. Arahnya mau ke mana?,” kata dia.

Menurut dia, pers memiliki peran yang penting dalam kehidupan masyarakat. Seharusnya wartawan diberikan ruang yang lebih untuk menjalankan tugas-tugasnya.

Ia juga menilai pers memiliki peran penting di era keterbukaan informasi di pemerintah saat ini. Jika tidak, maka hal-hal buruk diperkirakan bakal terjadi.

Sejumlah organisasi wartawan bergabung dalam aksi tersebut di antaranya Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Batam, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Kepri, Persatuan Waratawan Indonesia (PWI) Kepri, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Kepri, Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Batam, Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Kepri dan Serikat Perusahaan Pers (SPS) Kepri.

Sejumlah organisasi ini menilai pasal paling bermasalah dan bertentangan dengan semangat reformasi adalah 50B ayat 2 (c) mengenai standar isi siaran. Secara spesifik disebutkan bahwa ada pelarangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

Pasal ini sangat absurd dengan tendensi anti kebebasan pers. Pasal ini secara terang terangan menyasar kerja-kerja jurnalistik investigasi.

Menurut Pakar Ilmu Komunikasi, definisi penyiaran ini bisa luas cakupannya, tidak hanya akan menyasar media arus utama, tetapi juga jurnalisme investigasi yang dilakukan via internet, media online, atau bahkan hingga media sosial.

Pasal 50B ayat 2 (c) ini sangat bertentangan dengan pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Pers yang menyatakan, bahwa pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedalan atau pelarangan penyiaran. Selain itu, di Pasal 4 ayat 1 UU Pers jelas menyatakan kebebasan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.

Lalu, pasal 50B ayat 2 K RUU Penyiaran menyatakan akan menghentikan tayangan dianggap mencemarkan nama baik. Pasal ini dapat digunakan untuk menyerang para pengkritiknya. Selain itu, pasal pencemaran nama baik telah dicabut dari KUHPindana oleh Mahkamah Konstitusi Maret 2024 lalu. (Arjuna)