
AlurNews.com – Merasa suara mereka tidak pernah didengar oleh pemerintah daerah, sebanyak 10 warga Pulau Rempang yang mewakili keseluruhan kampung, berangkat ke Jakarta guna menyambangi Kedubes China untuk Indonesia, dan kantor Kemenko Perekonomian.
Didampingi jaringan solidaritas untuk Rempang, perwakilan warga ini menyuarakan penolakan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City, yang akan menghancurkan seluruh warisan leluhur warga Pulau Rempang.
Ishak salah satu warga Sembulang Hulu yang dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis (15/8/2024) pagi, menyebut tidak lagi dapat bersuara di kampung, karena pemerintah baik di kelurahan hingga provinsi tidak pernah mendengar aspirasi mereka.
Perjuangan mereka menyuarakan aspirasi hari ini, menjadi bukti nyata ikhtiar masyarakat tetap ada.
“Meskipun negara ada di langit, kami akan datangi, untuk memperjuangkan tanah dan ruang hidup kami. Kami sudah capek mengeluh di Pemko Batam, kami sudah lelah mengeluh di sana,” ujarnya.
Dirinya turut menceritakan tidak nyamannya kehidupan warga, sejak konflik agraria akibat PSN Rempang Eco-City bergulir di sana.
Setahun sudah warga berjuang, melawan intimidasi aparat dan godaan agar masyarakat setuju dengan PSN Rempang Eco City.
Mereka merasakan pedihnya gas air mata dan sakitnya peluru karet, saat bentrok antara warga dan aparat di Pulau Rempang pada 7 September 2023 lalu. Warga tidak lagi tenang di tanah mereka sendiri, sampai saat ini.
Meskipun demikian, ikhtiar menjaga tanah, ruang hidup dan tempat budaya Melayu tumbuh dan berkembang tetap mereka jalankan.
“Kami tidak suka dengan cara pemerintah merampas tanah kami. Kami inginkan keadilan,” kata Siti Hawa salah satu warga Sembulang Hulu lainnya menambahkan maksud kedatangan mereka ke Jakarta dalam sambungan telepon.
Divisi hukum KontraS, Vebrina Monicha turut menyoroti cara yang dilakukan aparat penegak hukum (APH) yang dianggap melakukan tindakan kekerasan seperti intimidasi bahkan kriminalisasi.
“Puluhan warga Rempang sudah mengalami kriminalisasi dengan dalih pengrusakan kantor BP Batam. Pola inilah yang selalu digunakan oleh negara untuk membungkam warga yang menolak PSN,” jelasnya.
Pihaknya mendesak penghentian perampasan atas tanah dengan pola yang terus berulang. Ia mendesak semua pihak untuk menghormati hak atas tanah yang telah dimiliki masyarakat.
“PSN Rempang Eco-City telah menimbulkan konflik di antara masyarakat Rempang. Alih-alih datang membawa proyek yang merugikan, Pemerintah seharusnya memberi legalitas kampung kepada masyarakat Rempang. Merekalah yang hidup dan menghidupi kampung jauh sebelum Indonesia merdeka, bukan para investor,” sebutnya.