AlurNews.com – Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) menyebut korban prostitusi anak di bawah umur umumnya mengalami trauma dan takut melapor kepada pihak berwajib.
Hal ini diungkapkan pasca pengungkapan kasus prostitusi online yang melibatkan anak di bawah umur oleh Ditreskrimsus Polda Kepri.
“Dari 26 korban yang diidentifikasi sebagai pekerja seks, salah satunya merupakan anak perempuan di bawah umur. Kami telah melakukan pendampingan psikologis untuk memulihkan trauma yang dialaminya,” ujar Pendamping Korban UPTD PPA Kepri, Tetmawati Lubis, Rabu (11/12/2024).
Wanita yang akrab disapa Butet ini mengatakan pihaknya saat ini tengah menjadwalkan pendampingan lanjutan bersama psikolog untuk memberikan ruang pemulihan kepada korban. Dari hasil pendampingan awal, korban mengaku tidak menjalani pekerjaan tersebut atas dasar gaya hidup, melainkan karena desakan kebutuhan ekonomi.
“Kondisi korban sangat trauma dan tertekan. Dari lubuk hati, dia sebenarnya tidak ingin menjalani pekerjaan ini,” kata Butet.
Korban diketahui sudah mengenal tersangka sejak lama dan sering berbagi cerita mengenai kesulitan hidupnya di Batam. Menurut Butet, tersangka memanfaatkan situasi dengan memberikan janji-janji manis kepada korban.
“Saat korban membutuhkan uang untuk biaya pengobatan orang tuanya yang sedang sakit, dia menghubungi tersangka. Tersangka lalu menawarkan pekerjaan sebagai pekerja seks dengan iming-iming bayaran besar,” ujarnya .
Tersangka meminta korban bergabung dalam forum daring kaskus “Batam Night Life” untuk dipromosikan sebagai pekerja seks. Jika ada pelanggan yang berminat, korban akan dihubungkan langsung oleh tersangka.
“Ini adalah bentuk perdagangan manusia. Tersangka mengambil keuntungan 20 persen dari setiap transaksi yang dilakukan korban,” katanya.
Ia menambahkan bahwa usia korban yang masih labil dimanfaatkan oleh tersangka. Selain itu, pola asuh keluarga yang kurang optimal diduga menjadi salah satu faktor yang membuat korban rentan terhadap eksploitasi.
Kasus ini terungkap melalui operasi yang dilakukan Subdit V Siber Ditreskrimsus Polda Kepri. Dari 26 korban prostitusi online yang diidentifikasi, mayoritas adalah mahasiswa, SPG, dan karyawan kantoran yang mencari penghasilan tambahan.
Dirreskrimsus Polda Kepri, Kombes Pol Putu Yudha Prawira mengatakan bahwa tersangka menggunakan media sosial untuk menawarkan korban sebagai pekerja seks dengan tarif beragam, mulai dari Rp 800 ribu hingga Rp4,9 juta per sesi.
“Tersangka mendapatkan keuntungan 20 persen dari setiap transaksi yang dilakukan melalui transfer bank,” ujar Kombes Putu Yudha. (rul)