AlurNews.com – Permainan tradisional gubang atau gobang dari suku Mampok asal usulnya terhubung dengan legenda, tradisi, dan kekuatan spiritual.
Pada zaman dahulu, beberapa orang Mampok memasuki hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Meskipun sudah familiar dengan hutan itu, orang Mampok tersebut tersesat dan tidak tahu arah keluar.
Saat malam tiba, orang-orang itu memutuskan untuk bermalam di dalam hutan. Tiba-tiba, terdengar suara permainan musik yang begitu syahdu, membangunkan ketujuh orang tersebut, yang terdiri dari tiga orang tua dan empat pemuda itupun memutuskan untuk mencari sumber suara tersebut.
Para orang tua memimpin perjalanan, sementara pemuda mengikuti di belakang. Sebelum melanjutkan, para orang tua berpesan agar pemuda tidak naik ke rumah yang mereka tuju dan menunggu di bawah rumah.
Setelah sampai, kelompok itu disambut dengan baik oleh pemilik rumah yang ternyata adalah seorang pemusik yang memainkan permainan gubang. Pemusik tersebut mengajarkan kepada para tetua 18 lagu gubang atau gobang dan tujuh lagu gendang panjang dalam semalam.
Namun, terjadi salah paham antara para tetua dan makhluk bunian yang tinggal di rumah tersebut. Sebuah perkelahian pun pecah, disertai dengan pantun antara kedua belah pihak.
Ketika perkelahian berhenti, ternyata ketujuh orang tersebut tidak berada di atas rumah, melainkan berada di sebuah batu besar di bawah pohon beringin.
Sesampainya di kampung, orang Mampok membuat alat musik gubang dan mengajarkannya kepada warga Mampok.
Gubang mulai dimainkan dalam upacara pernikahan Sri Lakang dengan orang Bugis. Permainan ini sempat berhenti sejenak, tetapi bangkit kembali pada zaman penjajahan Belanda, meski namanya berubah menjadi gobang. Permainan ini kembali populer pada masa Datuk M. Said dan Datuk Idris hingga sekarang.
Cerita ini menggambarkan bagaimana permainan tradisional gubang atau gobang menjadi bagian penting dari budaya masyarakat Mampok, dengan latar belakang cerita yang penuh dengan nilai-nilai spiritual, legenda, dan peristiwa sejarah.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kepulauan Anambas, Dewi Nolly, mengatakan tarian ini telah diakui sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Ia menekankan pentingnya pelestarian budaya melalui pengembangan seni yang nyata.
“Dukungan dari pemerintah daerah (Pemda) sangat dibutuhkan untuk mengembangkan seni tari, musik, dan perfilman di kawasan ini,” kata Dewi, Minggu (15/12/2024).
Dengan 39 sanggar seni aktif yang sering berpartisipasi dalam festival kebudayaan, Kepulauan Anambas menunjukkan kecintaan yang mendalam terhadap seni.
Ia berharap dengan adanya dukungan Pemda dapat memperkenalkan Kepulauan Anambas sampai di tingkat nasional hingga internasional. (Fadli)