AlurNews.com – Jaringan Safe Migrant Peduli Perempuan dan Anak mencatat sebanyak 448 kasus kekerasan terhadap perempuan, anak dan pekerja migran meningkat sepanjang tahun 2025.
Angka tersebut melonjak tajam dibandingkan tahun 2024 yang hanya mencatat 164 kasus, menandai situasi darurat perlindungan kelompok rentan di wilayah ini.
Ketua KKPPMP Keuskupan Pangkalpinang sekaligus perwakilan Jaringan Safe Migrant Batam, Romo Chrisantus Paschalis Saturnus mengatakan lonjakan kasus tersebut bukan sekadar angka statistik, melainkan indikator krisis yang serius.
“Lonjakan ini menunjukkan persoalan kekerasan terhadap perempuan, anak dan pekerja migran masih sangat serius dan membutuhkan perhatian semua pihak,” ujar Romo Paschal di PIH Asrama Haji Batam Center, Kamis (18/12/2025)
Ia merinci, dari total 448 kasus yang ditangani sepanjang 2025, pekerja migran Indonesia (PMI) nonprosedural menjadi kategori terbanyak dengan 114 kasus. Disusul kekerasan seksual sebanyak 64 kasus, tindak pidana perdagangan orang (TPPO) 45 kasus, eksploitasi ekonomi 36 kasus, serta kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebanyak 26 kasus.
Menurut Romo Paschal, sebagian besar kekerasan terjadi dalam relasi kerja, seperti antara majikan dan pekerja atau agen penyalur. Namun kekerasan juga banyak berlangsung di lingkungan terdekat korban, termasuk dalam keluarga.
“Yang memprihatinkan, kekerasan tidak hanya terjadi di ruang publik atau relasi kerja, tetapi juga di dalam keluarga dan komunitas terdekat korban,” katanya.
Ia juga menyoroti lonjakan tajam jumlah korban anak. Sepanjang 2025, tercatat 132 anak menjadi korban kekerasan, meningkat drastis dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencatat 24 kasus.
“Anak-anak menjadi kelompok paling rentan. Rumah yang seharusnya menjadi ruang aman justru kerap menjadi tempat terjadinya kekerasan,” ujar Romo Paschal.
Dalam aspek penegakan hukum, Romo Paschal menyebut belum semua kasus berlanjut hingga putusan pengadilan. Sejumlah perkara masih berada dalam proses hukum, dihentikan, atau diselesaikan melalui mediasi.
“Kami masih menghadapi kendala serius, mulai dari sulitnya menangkap pelaku, minimnya perspektif korban pada aparat penegak hukum, hingga belum optimalnya penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS),” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Panitia 24 HAKTPA, Kiki, menilai lonjakan kasus pada 2025 tidak dapat dimaknai secara tunggal sebagai peningkatan kekerasan semata. Menurutnya, hal itu juga bisa mencerminkan fenomena gunung es yang mulai terbuka.
“Lonjakan ini bisa berarti kasus memang meningkat, tetapi bisa juga menunjukkan korban kini semakin berani melapor,” kata Kiki.
Ia menjelaskan, Jaringan Safe Migrant (JSM) yang berdiri sejak 2016 dan beranggotakan 15 lembaga masyarakat di Batam terus berupaya memberikan pendampingan kepada korban, meski dihadapkan pada berbagai keterbatasan.
“Kami mendampingi korban mulai dari penyediaan rumah aman, konseling, layanan kesehatan, hingga pendampingan hukum. Namun tantangan di lapangan masih sangat besar,” ujarnya.
Kiki menambahkan, keterbatasan anggaran, sumber daya manusia, serta lemahnya sinergi antar lembaga masih menjadi hambatan utama dalam penanganan kasus kekerasan.
Menutup rangkaian kegiatan bertema “Kita Punya Andil, Kembalikan Ruang Aman”, Kiki mendorong keterlibatan aktif seluruh pihak dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan.
“Perlindungan terhadap perempuan, anak, dan pekerja migran tidak bisa hanya dibebankan pada satu pihak. Diperlukan kolaborasi antara pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat,” katanya. (nando)


















