
AlurNews.com – Akar Bhumi Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Batam, dan Batam Bergerak menggelar Kaleidoskop Kerusakan Lingkungan Kepulauan Riau 2025. Kegiatan ini menjadi bagian dari catatan kronologis peristiwa sekaligus ruang refleksi untuk membaca keterkaitan antara kerusakan lingkungan di Kepri dan bencana ekologis yang berulang di Sumatra.
Sepanjang 2025, Akar Bhumi Indonesia melaporkan sedikitnya 16 kasus kerusakan dan pencemaran lingkungan, dengan 80 persen di antaranya berupa kerusakan pesisir yang didominasi praktik reklamasi tidak sesuai regulasi, serta 20 persen lainnya merupakan kasus kerusakan dan penyalahgunaan kawasan hutan.
Selain itu, Akar Bhumi Indonesia juga mengungkap jumlah temuan kerusakan lingkungan yang tidak dilaporkan mencapai tiga kali lipat dari kasus yang dilaporkan, terutama karena keterbatasan sumber daya manusia, serta tingginya biaya pendampingan hukum dan sosial yang harus ditanggung organisasi dan masyarakat terdampak.
Kegiatan yang digelar Senin (29/12/2025) ini diisi dengan pemutaran video dokumenter, diskusi publik, serta perbincangan bersama warga terdampak, aktivis, jurnalis, serta pemangku kepentingan.
Ketua panitia kegiatan, Muhammad Sya’ban, menuturkan, kaleidoskop ini menjadi semacam kolase dari kerja-kerja advokasi Akar Bhumi Indonesia dan AJI Batam. Keduanya saling berkelindan, baik dalam pendampingan masyarakat terdampak maupun dalam upaya publikasi isu-isu lingkungan.
“Kerusakan lingkungan sepanjang tahun 2025 semakin marak, mulai dari reklamasi ilegal hingga perusakan pesisir. Ini menjadi pekerjaan rumah bersama, bukan hanya bagi aktivis lingkungan, tetapi juga jurnalis, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil,” jelasnya, Rabu (31/12/2025).
Tekanan Ekologis yang Kian Kompleks
Dalam beberapa tahun terakhir, Kepulauan Riau menghadapi tekanan ekologis yang semakin kompleks. Alih fungsi lahan, aktivitas pertambangan, reklamasi pesisir, penimbunan mangrove, serta kerusakan hutan dan laut kerap terjadi atas nama pembangunan.
Kerusakan tersebut sering dipandang sebagai konsekuensi tak terelakkan dari pertumbuhan ekonomi. Namun, akumulasi kerusakan lingkungan justru memunculkan dampak nyata bagi masyarakat dan meningkatkan risiko bencana ekologis.
Banjir, longsor, kebakaran hutan, dan kerusakan pesisir di berbagai wilayah Sumatra menunjukkan bahwa bencana bukan semata peristiwa alam, melainkan akibat relasi yang timpang antara manusia dan lingkungan.
Jika pembangunan terus mengabaikan daya dukung ekologis, maka kondisi serupa berpotensi terjadi di Kepulauan Riau, daerah dengan sekitar 96 persen wilayahnya adalah laut.
Ruang Refleksi dan Diskusi Publik
Kaleidoskop kerusakan lingkungan ini diselenggarakan untuk meningkatkan kesadaran publik terhadap krisis ekologis, membaca kerusakan lingkungan sebagai rangkaian sebab-akibat yang saling terkait, serta mendorong diskusi kritis antara warga, jurnalis, aktivis, komunitas, dan pemangku kepentingan. Forum ini menempatkan isu lingkungan sebagai isu kemanusiaan dan keberlanjutan hidup.
Acara diawali dengan pemutaran video dokumenter yang menggambarkan kerusakan lingkungan dan bencana ekologis di Kepulauan Riau, khususnya di Kabupaten Karimun dan Kota Batam.
Dalam diskusi publik yang dihelat, hadir perwakilan masyarakat terdampak, Akar Bhumi Indonesia, Polda Kepulauan Riau, perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) wilayah Kepri, dan mahasiswa dari beberapa kampus di Batam.
Sahat Jemahat, warga Kampung Ambat Jaya, Kabupaten Karimun, hadir sebagai representasi masyarakat yang seringkali terpinggirkan imbas pengembangan sebuah kawasan. Dalam hal ini, Sahat dan puluhan warga Kampung Ambat Jaya telah bertahun-tahun menjadi korban dari aktivitas PT Saipem.
Masalah utamanya adalah aktivitas pembersihan plat besi yang dilakukan perusahaan, menggunakan sistem sandblasting yang menghasilkan debu tebal di pemukiman warga. Imbasnya, warga mengeluhkan udara kotor yang mengganggu pernapasan, terutama bagi kelompok rentan seperti balita dan lansia.
Persoalan ini, kata Sahat, bahkan sudah dikeluhkan sejak awal perusahaan berdiri pada 2008 lalu. “Sejak awal pembangunan kami sudah merasakan dampaknya. Ditambah lagi pasir silika blasting yang menghasilkan debu. Kami pernah meminta AMDAL perusahaan dibuka, tetapi warga dan Akar Bhumi justru dianggap orang asing,” ujarnya.
Ia menuturkan, masyarakat merasa dianaktirikan. Janji bahwa lahan dijual agar anak cucu bisa bekerja tidak terwujud. “Sekarang justru terjadi PHK massal dengan alasan proyek habis. Debu masih ada, laut kami menyempit, dan kami bingung mau mengadu ke mana,” katanya.
Menurut Sahar, sekitar 200 kepala keluarga dari dua RT terdampak langsung dari aktivitas perusahaan. “Banyak yang sakit, tapi selalu dianggap musiman. Kami ini nelayan. Ke depan kami tidak tahu lagi mau mencari penghasilan dari mana.”
Ia juga mengeluhkan lambannya respons pemerintah dan DPR. “Sudah tiga tahun kami menunggu. Janji tinggal janji, periode ke periode, bupati pun begitu juga,” katanya.
Ketua Akar Bhumi Indonesia, Sony Rianto, menjelaskan pihaknya telah mendampingi masyarakat Kampung Ambat Jaya selama hampir tiga tahun. Konflik antara warga dan perusahaan telah berlangsung lama, dengan dampak paling terasa dalam enam tahun terakhir, terutama saat angin barat dan selatan.
“Pertanyaan besarnya sekarang, ke depan mau ke mana nelayan ini? Ketika perusahaan tidak memberi manfaat ekonomi, lingkungan sudah rusak akibat aktivitas sandblasting, dan laut mereka keruh serta dangkal akibat sendimentasi,” ujarnya.
Di sisi lain, warga yang diserap perusahaan sebagai tenaga kerja pun sebagian besar memiliki risiko tinggi akan kesehatan.
Kanit Tipidter Ditkrimsus Polda Kepri AKP Ade Putra, menyampaikan bahwa pihaknya terbantu dengan kerja pendampingan dan pelaporan yang dilakukan Akar Bhumi Indonesia.
“Isu lingkungan selalu kami hadapi karena perkembangan kota tidak bisa dilepaskan dari persoalan lingkungan. Kami akan terus berdiskusi dengan Akar Bhumi terkait aspirasi masyarakat, termasuk soal AMDAL perusahaan,” ujar Ade
Ia menegaskan bahwa tindak pidana lingkungan harus memiliki dampak yang jelas sesuai ketentuan undang-undang. “Isu lingkungan hidup adalah isu serius. Ada beberapa perkara yang kami tangani di Batam, Karimun, dan Bintan, meski belum bisa disampaikan secara terbuka,” ujarnya.
Dalam sesi diskusi tanya jawab, Romi, nelayan asal Bengkong, mengeluhkan reklamasi yang menyebabkan penyempitan hulu, pencemaran hilir, rusaknya terumbu karang, dan hilangnya hasil tangkapan.
Hal ini dikeluhkannya lantaran masifnya pembangunan perumahan serta objek-objek wisata di Kecamatan Bengkong dalam beberapa tahun terakhir.
“Kami sudah melapor ke dinas, wali kota, DPRD, hingga Polda Kepri, tapi tidak ada tanggapan. Silakan bangun, tapi perhatikan kami. Jika ada pelanggaran, tolong ditindak,” ujarnya.
Meganggapi hal tersebut, Ade menyatakan akan menelusuri kembali laporan masyarakat. “Secara regulasi, perkara pidana memiliki tahapan. Namun tidak menutup kemungkinan diproses pidana. Untuk kerugian perdata, masyarakat bisa melapor langsung atau melalui LSM jika bukti kuat,” kata dia
Sementara itu Pengawas Ahli Madya Dinas Lingkungan Hidup dan Kelautan (LHK) Kepri Bertha de Jurisal menyoroti persoalan tumpang tindih regulasi dan keterbatasan anggaran
“Regulasi kita rumit dan saling tumpang tindih. Saya mau bertindak, tapi anggaran terbatas. Ibaratnya diberi pistol tapi tidak diberi peluru,” ujar Bertha
Ia menambahkan bahwa pihaknya hanya menerima anggaran Rp10 Juta saja per tahun, jadi menurutnya itu tidak cukup. Ia menegaskan KLH berfokus pada dampak lingkungan, sementara izin dan tata ruang berada di instansi lain. “Tidak ada izin tambang di hutan lindung. Penambangan disebut tambang jika memiliki IUP,” tegasnya.
Sekertaris AJI Kota Batam, Muhammad Ishlahuddin menegaskan bahwa kaleidoskop ini merupakan refleksi atas kerusakan lingkungan sepanjang 2025. Ia bahkan menyinggung longsor di Tiban, Kecamatan Sekupang pada awal tahun lalu yang menewaskan empat orang, serta 31 titik longsor di Batam, sebagai contoh kasus akan nyatanya kerusakan lingkungan di kota ini.
“Bencana seringkali terjadi akibat ulah tangan manusia dengan keserakahannya, ia tidak terjadi di ruang hampa,” katanya.
Ia juga menyoroti persoalan lingkungan lain seperti sampah yang menumpuk berbulan-bulan di TPS, tambang ilegal di Nongsa, banjir yang terus berulang, serta kerusakan laut dan pesisir pulau-pulau kecil seperti Karimun.
“Pulau-pulau kecil seharusnya menjadi ruang hidup nelayan, bukan dikorbankan demi kepentingan industri dan keuntungan segelintir orang,” katanya. (nando)
















