Tambak Udang di Hutan Lindung Setokok Diduga Babat Mangrove

tambak udang setokok
Tambak udang di kawasan hutan lindung diduga babat mangrove. Foto: AlurNews.com/Arjuna

AlurNews.com – Organisasi Akar Bhumi Indonesia (ABI) memverifikasi adanya dugaan tambak udang ilegal di kawasan hutan lindung Tanjung Korok, Setokok, Bulang, Kota Batam, Kepulauan Riau.

Hal itu diketahui berdasarkan aduan masyarakat pada 7-17 Oktober, ABI langsung gerak ke lokasi. Hasilnya, ada sembilan pemilik tambak udang yang beroperasi di hutan lindung Tanjung Korok. Setiap pemilik rata-rata mempunyai empat sampai 10 tambak.

ABI memperkiraan satu hektare lebih mangrove telah dibabat menjadi lahan tambak udang. Dari pengamatan, tambak tambahan baru saja selesai dibuat. Satu kotak tambak lebih kurang 1.600 m², dapat menghasilkan hingga 10 ton per empat bulan.

Baca Juga: Aktivitas Perusahaan yang Rusak Mangrove di Sagulung Disegel KLHK

Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber warga yang berada tak jauh dari tambak-tambak tersebut ketika memasuki masa panen, jalan akses menuju ke tambak yang sekaligus jalan bagi permukiman disekitar menjadi rusak dan menganggu aktivitas pengguna jalan.

“Kami menemukan sudah ada pemasangan papan nama yang menerangkan bahwa area tersebut merupakan kawasan hutan lindung yang melarang setiap orang mengerjakan, menggunakan, dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah,” kata Founder ABI, Hendrik Hermawan, Rabu (25/10/2023).

“Terdapat tiga logo institusi yakni BP Batam, KLHK dan Dinas Provinsi Kepri. Kami tidak menemukan papan nama petunjuk pihak pemilik atau pengelola tambak-tambak di HL (hutan lindung) Tanjung Korok,” tambah dia.

Efek penimbunan mangrove juga menyebabkan sendimentasi lumpur yang menyebar keperairan hingga sekitar karena terbawa arus air laut. Akibatnya, habitat biota laut terganggu yang pada akhirnya berdampak buruk bagi penghasilan nelayan sekitar.

Rusaknya ekosistem pesisir, kata Hendrik, juga telah menyebabkan menurunnya tangkapan nelayan di sekitar tambak. Adanya limbah usaha tambak udang juga menganggu mata pencaharian nelayan.

“Mereka mesti melaut lebih jauh karena lokasi tangkapannya telah tercemar. Pelaku usaha diduga selain tidak memiliki izin kegiatan usaha serta tidak menjalankan kaidah Cara Budi Daya Ikan yang Baik (CBIB),” katanya.

CBIB sendiri penting dilaksakan oleh pelaku usaha tambak karena dengan penerapan CBIB yang baik dan benar maka akan memberikan jaminan mutu dan keamanan bagi hasil perikanan yang dibudidayakan serta lingkungan hidup sekitar.

Hutan lindung di Tanjung Korok sebagaimana diketahui telah lama diokupasi masyarakat. Namun perubahan exiting mangrove menjadi tambak udang bukan saja marak di status lahan hutan lindung, tapi juga pada status APL.

Hal itu juga menjadi catatan, mengingat tidak ada perizinan untuk tambak udang jika mengacu pada RTRW Kota Batam tahun 2021. Akan tetapi, pada kenyataannya banyak kawasan hutan mangrove maupun mangrove di luar kawasan dirusak untuk memenuhi tingginya permintaan udang, baik untuk kebutuhan lokal maupun ekspor.

“Bisnis udang dapat mengeruk keuntungan, namun hal ini luput dari pengawasan pemerintah daerah,” ujar Hendrik.

ABI menyayangkan akan hal tersebut. Ditambah lagi bahwa jarak dari lokasi tambak udang yang berada di atas hutan lindung itu dengan lokasi penanaman mangrove oleh Presiden Jokowi hanya berjarak kurang lebih 1,5 kilometer saja.

Hendrik menegaskan, seluruh pihak tidak bisa membiarkan kejahatan lingkungan terus menerus mengerus hutan yang bukan saja memiliki fungsi ekologi yang bisa dirasakan seluruh semesta.

“Kita mesti segera mengembalikan fungsi utama hutan lindung, salah satunya menghentikan okupasi lahan secara ilegal. Pemerintah mesti segera menyelesaikan tapal batas hutan,” ujarnya.

Menurut dia, jika hal itu tidak segera ditangani oleh pemerintah, maka akan menjadi pemicu kasus sosial seperti di Pulau Rempang, yakni ketidakmampuan pemerintah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan hutan.

Dikonfirmasi secara terpisah, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kepri, melalui Kepala KPHL Batam, Lamhot Sinaga mengaku bakal memberikan surat peringatan terhadap aktivitas yang dimaksudkan.

“Sebelumnya kita sudah pernah memberikan surat peringatan penghentian kegiatan di sana,” ujar dia.

Adapun dugaan pelanggaran hukum meliputi UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 27/2007 junto UU No 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, serta Peraturan Pemerintah No 5/2021 tentang Perizinan Berbasis Risiko. (Arjuna)