Lahan PT MGL yang Diminta Warga Central untuk Masjid ‘Mangkrak’ 3 Tahun, Harianto: Kami Minta BP Tarik Lahan Itu

Lahan seluas 3 hektare, milik PT Menteng Griya Lestari yang menjadi lokasi pembuangan Perumahan Central Hills dan telah mangkrak selama 3 tahun. (Foto: AlurNews)

AlurNews.com – Warga Perumahan Central Hills, Batam Center meminta Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam menarik lahan seluas 3 hektare, milik PT Menteng Griya Lestari yang menjadi lokasi pembuangan perumahan dan telah mangkrak selama 3 tahun.

Hal ini menyusul pernyataan Kepala BP Batam, Amsakar Achmad yang menegaskan komitmennya menyelesaikan persoalan lahan tidur guna mempercepat pembangunan di Batam.

Terkait permasalahan lahan mangkrak milik PT MGL, Ketua Pembangunan Masjid Perumahan Central Hills, Harianto, menyebut sebelumnya warga telah mengajukan permintaan untuk pemanfaatan lahan tersebut guna pembangunan masjid bagi warga.

Namun hingga saat ini perihal pengajuan lahan bagi masjid ini, tidak kunjung terealisasi. Warga menilai pihak pemilik lahan PT Menteng Griya Lestari (MGL) bersama pihak pengembang Central Group maupun pemerintah setempat kurang memberikan perhatian terhadap kebutuhan dasar warga untuk menjalankan ibadah.

“Dengan puluhan hektare lahan milik PT Menteng Griya Lestari (MGL) yang berada di Belian, dan diminta warga Central Hills seluas 5.000 meter persegi untuk mendirikan masjid. Sejatinya lahan itu telah mangkrak melebihi 2 tahun, alias telah 3 tahunan. Dan sesuai Perka BP Batam, No 11 tahun 2023, lahan itu harusnya sudah bisa ditarik BP Batam,” jelasnya.

Dengan kebijakan ini, pemerintah dianggap memiliki kewenangan dalam memenuhi kebutuhan fasilitas umum (Fasum), serta fasilitas sisial (Fasos) bagi masyarakat.

“Dengan kepemimpinan Pak Amsakar dan Bu Li Claudia Chandra, kami sangat berharap. Persoalan pendirian Masjid di Central Hills segera dapat diselesaikan. Karena sejauh ini, baik developer maupun pemilik lahan masih sama-sama menggantung permintaan warga. Padahal ini kebutuhan krusial,” ujarnya.

Terkait ketersediaan fasum-fasos, Harianto juga menerangkan ketakutan warga apabila lahan yang ditujukan bagi area perumahan, tidak dapat terealisasi 100 persen.

“Penyerahan fasum fasos ke Pemerintah memang satu tahun setelah masa pemeliharaan. Tapi, apakah harus menunggu itu dulu baru bisa kita meminta lahan fasum untuk mendirikan masjid? Bagaimana kalau perumahan itu tidak 100% terbangun. Maka serah terima fasum nya pun akan terbengkalai. Seharusnya ada solusi untuk ini,” jelasnya.

Warga juga menilai pihak developer dan pemilik lahan soal fatwa planologi yang dari BP Batam. Lahan fasum-fasos dinilai dapat disalahgunakan.

“Harusnya itu bisa transparan. Apalagi yang minta warga, yang berhak mengetahui luasan fasum fasos yang sebenarnya. Kami menduga, ada yang janggal soal fasum fasosnya,” jelasnya. (es)