
AlurNews.com – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Batam mendesak Kepolisian Daerah Kepulauan Riau (Polda Kepri) menghentikan proses hukum dengan menjadikan produk jurnalistik, sebagai dasar dalam mempidanakan seseorang.
AJI menegaskan bahwa karya jurnalistik, sebagai produk pers, bukan sebagai landasan dan alat untuk mempidanakan seseorang dengan menggunakan pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Sengketa jurnalistik, termasuk permasalahan narasumber semestinya diselesaikan melalui mekanisme di Dewan Pers, bukan jalur pidana. Pernyataan narasumber jelas satu kesatuan yang merupakan produk jurnalistik dan tanggung jawab media.
Sebelumnya, Polda Kepri tengah menangani perkara UU ITE yang menjerat salah satu narasumber berita Batam TV. Kasus ini telah berlangsung lebih dari satu tahun, dengan Pemimpin Redaksi Batam TV, Sularno, dipanggil sebagai saksi dalam perkara ini.
Sularno telah menerima lima kali surat panggilan dari penyidik, dimana laporan yang dibuat di tahun 2024 dimulai dari proses penyelidikan dan saat ini telah naik status ke penyidikan.
Ia menyebutkan narasumber yang disangkakan terpinda UU ITE tersebut, merujuk kepada karya jurnalistik Batam TV yang berjudul, “PT Laut Mas Digeruduk Belasan Orang” pada 27 Januari 2024. Tautan video: https ://www.youtube.com/watch?v=6O_CZ2meg9I
Dalam setiap memenuhi panggilan polisi, Sularno selalu menegaskan bahwa jika karya jurnalistik dijadikan pokok perkara laporan UU ITE, maka penyelesaiannya harus melalui sengketa pers, bukan ranah pidana.
Ketua Bidang Advokasi AJI Kota Batam, Nando mengatakan, Batam TV telah melaporkan kasus ini kepada AJI. Pihaknya kini mendampingi agar perkara tersebut tidak dilanjutkan.
“Ada kekeliruan di sini. Masalah produk jurnalistik seharusnya diselesaikan melalui Dewan Pers,” tegas Nando.
Ia menambahkan, setelah pembahasan mendalam bersama Tim Advokasi AJI Batam dan AJI Indonesia, pihaknya melihat hal ini dapat menjadi bencana bagi kebebasan berpendapat di muka umum.
Upaya menjadikan produk jurnalistik, sebagai dasar untuk mengkriminalisasi seseorang juga akan mematikan bagi penulis dalam upaya menghasilkan produk jurnalistik yang berkualitas.
“Apabila ada keberatan terhadap isi pemberitaan, bisa menempuh jalur Undang-Undang Pers, karena ada hak jawab dan hak koreksi,” kata Nando.
Ketua AJI Batam, Yogi Eka Sahputra, menekankan pentingnya semua pihak memahami regulasi yang berlaku. Apalagi sudah ada Nota Kesepahaman antara Kapolri dan Dewan Pers yang menegaskan bahwa sengketa jurnalistik harus diselesaikan melalui Dewan Pers.
“Pemidanaan terhadap narasumber bisa menjadi ancaman serius bagi kebebasan pers dan harus dilawan,” katanya.
Sementara itu, Ketua Advokasi AJI Indonesia, Erik Tanjung menyatakan, pihaknya turut memberi perhatian terhadap kasus ini. Di beberapa daerah kasus sama pernah terjadi, AJI menjadi yang paling kuat menentang narasumber jurnalistik dipidanakan.
“Jika pernyataan narasumber dimuat media, maka yang bertanggung jawab adalah media tersebut. Penyelesaiannya bukan pidana, tapi sengketa pers,” kata Erik.
Erik menyebutkan, sudah ada yurisprudensi kasus serupa yaitu kasus Amrullah. Amrullah merupakan narasumber yang hendak dipidanakan oleh pihak tertentu.
Namun dalam tingkat kasasi, Hakim Mahkamah Agung memutuskan bahwa narasumber tidak bisa dipidana. “Itu sudah ada yurisprudensinya dari Mahkamah Agung,” kata Erik.
Kronologi Kasus:
Perkara ini bermula pada 25 Januari 2024, saat wartawan Batam TV meliput kejadian di PT Laut Mas, Batuampar. Saat itu, terjadi keramaian akibat kedatangan sejumlah orang dari PT Alken ke lokasi perusahaan tersebut.
Hasil liputan ditayangkan di Batam TV dan kanal YouTube mereka dengan judul “PT Laut Mas Digeruduk Belasan Orang” pada 27 Januari 2024. Tautan video: https ://www.youtube.com/watch?v=6O_CZ2meg9I
Pada Maret 2024, Polda Kepri melayangkan surat panggilan kepada Pemimpin Redaksi Batam TV, Sularno. Dalam surat itu disebutkan bahwa Sularno dipanggil sebagai saksi dalam perkara pelaporan UU ITE yang menjerat narasumber mereka di dalam pemberitaan tersebut.
Panggilan pertama tidak dihadiri Sularno. Pada pemanggilan kedua di bulan yang sama, ia hadir untuk menjelaskan bahwa karya jurnalistik tidak bisa diproses secara pidana, apalagi melalui UU ITE.
“Dalam penyidikan tersebut saya tegaskan, tidak bersedia di-BAP untuk kasus ini,” ungkapnya.
Ia juga menyampaikan kepada penyidik bahwa sengketa seharusnya diserahkan ke Dewan Pers. Polda Kepri kemudian menyurati Dewan Pers, namun surat balasan dari lembaga tersebut tidak pernah disampaikan kepada Batam TV.
Pada Juli 2024, Sularno untuk ketiga kalinya kembali dipanggil. Dalam pemanggilan tersebut, ia memberikan penjelasan terkait legalitas Batam TV sebagai media resmi.
Ia juga menyampaikan bahwa wartawan mereka berada di lokasi saat kejadian dan menjalankan tugas sesuai Kode Etik Jurnalistik serta Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Beberapa waktu kemudian, Sularno menerima surat bahwa kasus ditingkatkan dari penyelidikan menjadi penyidikan. Ia menolak menghadiri pemanggilan lanjutan.
Namun, pada panggilan kelima, 14 Mei 2025 ini, ia kembali hadir dan menyatakan secara tegas bahwa tidak bersedia memberi keterangan mengenai produk jurnalistik.
Dalam surat pemanggilan ke 2 dalam penyelidikan ini Sularno diminta hadir menemui Kanit Subdit 5 Siber Ditreskrimsus Polda Kepri untuk mendengarkan keterangan sebagai saksi dalam perkara dugaan tindak pidana informasi dan transaksi elektronik.
Sebelum pemanggilan kelima tersebut Sularno melaporkan kasus ini ke Tim Advokasi AJI Batam.
Tim Advokasi AJI Batam langsung mendampingi pemeriksaan Sularno.
“Sandaran saya adalah Undang Undang Pers. Siapa pun yang keberatan bisa menggunakan hak jawab,” ujarnya. Dalam pemeriksaan kelima itu, ia menandatangani berita acara penolakan untuk diperiksa.
Menurutnya, kasus semacam ini tidak boleh berlanjut, agar tidak menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di masa mendatang. Ia juga menyampaikan apresiasi kepada AJI yang terus memberikan dukungan moral.
AJI Kota Batam mendesak:
1. Polda Kepri menghentikan proses pidana UU ITE terhadap karya jurnalistik. Sengketa semacam ini semestinya ditangani melalui Dewan Pers.
2. Seluruh pihak perlu memahami bahwa narasumber jurnalistik tidak bisa dikenai pidana. Jika ada keberatan atas pernyataannya, penyelesaiannya dilakukan melalui mekanisme sengketa pers seperti hak jawab atau koreksi.
3. Penyelesaian terhadap sengketa ini seharusnya mengacu pada UU Pers nomor 40 Tahun 1999. Serta perjanjian kerjasama antara Kepolisian dengan Dewan Pers di tahun 2022, mengenai perlindungan kemerdekaan pers dan penegakan hukum terhadap penyalahgunaan profesi.
4. Dewan Pers diminta aktif memberikan pemahaman kepada aparat penegak hukum bahwa penanganan terhadap karya jurnalistik yang dianggap bermasalah harus mengacu pada Undang-Undang Pers, bukan jalur pidana.
5. Perusahaan pers diimbau memberikan perlindungan kepada narasumber yang berkontribusi dalam proses jurnalistik, demi menjamin kebebasan berekspresi dan pemberitaan yang adil. (Nando)