
AlurNews.com – Aktivitas reklamasi yang diduga ilegal di Kelurahan Tanjung Buntung, Kecamatan Bengkong, Batam, Kepulauan Riau memicu protes warga pesisir.
Temuan terbaru dari tim investigasi NGO Akar Bhumi Indonesia menunjukkan adanya penimbunan seluas 2–3 hektare di titik koordinat 1°10’37.7″N 104°02’24.8″E, yang dilakukan tanpa prosedur dan izin lengkap.
Berdasarkan laporan investigasi yang dilakukan pada 23-28 November 2025 usai menerima aduan masyarakat pada 19 November. Di lokasi, Akar Bhumi mendapati material tanah langsung dituang ke laut, menyebabkan air keruh dan merusak terumbu karang.
“Kami menemukan indikasi kuat adanya kegiatan reklamasi yang tidak sesuai prosedur. Dampaknya sudah jelas merusak ekosistem dan mengganggu kehidupan nelayan,” jelas Hendrik Hermawan, Pendiri Akar Bhumi Indonesia, Minggu (7/12/2025).
Berdasarkan laporan masyarakat, pihaknya menduga PT GP sebagai pihak yang melakukan penimbunan. Akar Bhumi menilai perusahaan tidak mengantongi izin prinsip maupun izin lingkungan sesuai ketentuan di antaranya UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU 27/2007 junto UU 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Kemudian PP 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan PP 122/2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
“Ketiadaan dokumen perizinan mengindikasikan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap kegiatan yang mengubah ruang laut menjadi daratan,” jelasnya.
Atas temuan dugaan pelanggaran reklamasi dan kerusakan lingkungan yang luas, Akar Bhumi mendesak pemerintah melakukan verifikasi perizinan, proses hukum, dan audit lingkungan secara menyeluruh dan transparan.
Ia mengingatkan bahwa kerusakan pesisir bukan hanya mengancam keberlanjutan ekonomi masyarakat, tetapi juga masa depan ekosistem laut Batam.
“Kami mendorong pemerintah melakukan audit terhadap tata kelola lingkungan di kawasan ini. Banyak ruang laut berubah menjadi daratan secara ugal-ugalan dan tidak bisa dibiarkan,” tegas Hendrik.
Sementara itu, salah satu nelayan keramba yang biasa beraktivitas di wilayah perairan pesisir Bengkong mengaku sudah satu tahun melihat aktivitas penimbunan yang semakin masif dalam beberapa bulan terakhir. Ratusan lori keluar-masuk tiap hari membawa tanah, sementara tak satu pun nelayan mengetahui dari mana asal material tersebut.
“Tanah itu langsung dituang ke laut. Laut jadi keruh, terumbu karang rusak. Ikan-ikan di keramba saya mati hampir setiap hari,” ujar Romi.
Adanya kerusakan pesisir langsung memukul ekonomi nelayan kecil. Hasil tangkapan menurun drastis, sementara biaya operasional tetap tinggi.
Kini nelayan yang mengandalkan perahu kecil tak bisa melaut lebih jauh, sementara perairan pesisir semakin cokelat dan dipenuhi sedimen.
Romi menegaskan mereka tidak menolak pembangunan, namun meminta semua kegiatan mengikuti aturan.
“Dulu dua jam melaut bisa dapat Rp100.000. Sekarang seharian penuh pun sulit dapat segitu. Minyak saja sudah Rp70.000 sekali jalan. Ikan tak mau lagi ke tepi. Mau ke tengah, perahu kami tak sanggup,” ujarnya. (nando)

















