RCTI Gugat UU Penyiaran, Publik Mungkin Tak Bisa Live Medsos

AlurNews.com – Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyebut apabila permohonan RCTI terkait pengaturan penyiaran berbasis internet dikabulkan, maka masyarakat tidak bisa lagi bebas menggunakan fitur siaran dalam platform media sosial (medsos) karena terbatasi hanya lembaga penyiaran yang berizin.

“Perluasan definiasi penyiaran akan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, YouTube Live, dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin,” ujar Ahmad M, warga netizen.

Jika permohonan tersebut benar dikabulkan maka bagi siapa saja yang tidak memiliki izin sebagai lembaga penyiaran tidak berhak melakukan siaran. Apabila tetap memebandel melakukan siaran maka pelaku dapat ditindak tegas oleh aparat penegak hukum.

Gugatan tersebut sontak menuai banyak komentar negatif dari para penghuni dunia maya. Mereka berpendapat hal tersebut justru akan mengkebiri keratifitas masyarakat dan hal tersebut sebagai upaya RCTI agak tidak kalah bersaing dari media sosial.

Rencananya sidang gugatan tersebut akan digelar pada 14 September mendatang.

RCTI dan iNews TV yang mengajukan uji materi menyebut pengaturan penyiaran berbasis internet dalam Pasal 1 ayat 2 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ambigu dan menyebabkan ketidakpastian hukum.

Isi pasalnya:

Ayat 1: Siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran.

Ayat 2: Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.

RCTI meminta agar penyedia layanan siaran melalui internet turut diatur dalam Pasal 1 ayat 2 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Akibat gugatan itu RCTI viral dan menjadi perbincangan di lini massa karena menggugat UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan layanan video over the top (OTT).

Jika uji materi itu dikabulkan Mahkamah Konstitusi, maka siaran langsung di media sosial tidak boleh lagi. Semisal di Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, atau juga YouTube Live.

Gugatan ini sudah bergulir di MK. Rabu (26/8/2020) kemarin, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mewakili Presiden dalam sidang uji materi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan layanan video over the top (OTT) apabila dimasukkan dalam klasifikasi penyiaran justru akan menimbulkan masalah.

“Untuk mengklasifikasi layanan OTT sebagaimana bagian dari penyiaran akan menimbulkan permasalahan hukum, mengingat penyiaran telah diatur dengan sangat ketat dan rigid dalam satu regulasi,” ujar Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kominfo Ahmad M Ramli secara virtual dalam sidang lanjutan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

Ia menuturkan layanan OTT beragam dan luas sehingga pengaturannya kompleks dan saat ini tidak hanya dalam satu aturan.

Peraturan perundang-undangan yang ada sesuai dengan jenis layanan OTT yang disediakan, di antaranya Undang-Undang Telekomunikasi, Undang-Undang ITE, Undang-Undang Pers, Undang-Undang Pornografi, Undang-Undang Perdagangan, Undang-Undang Hak Cipta hingga Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Ramli menegaskan layanan OTT di Indonesia terus berkembang, apabila diatur terlalu ketat akan menghambat pertumbuhan ekonomi kreatif dan ekonomi digital nasional.

“Mengatur layanan OTT secara ketat juga akan menghadapi tantangan hukum dalam penegakkan-nya karena mayoritas penyedia layanan OTT saat ini berasal dari yurisdiksi di luar Indonesia,” tutur Ramli.

Ia menyebut hingga saat ini tidak terdapat negara yang mengatur layanan audio visual OTT melalui internet dimasukkan menjadi bagian penyiaran. Pengaturan layanan audio visual OTT diatur dalam peraturan yang terpisah dengan penyiaran yang linear.

Masih di MK, Ramli mengatakan jika gugatan itu dikabulkan, maka masyarakat tidak lagi bebas memanfaatkan fitur siaran dalam platform media sosial. Sebab terbatasi hanya lembaga penyiaran yang berizin.

“Perluasan definisi penyiaran akan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, Youtube Live, dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin. Artinya, kami harus menutup mereka kalau mereka tidak mengajukan izin,” ujar dia.

Apabila kegiatan dalam media sosial itu juga dikategorikan sebagai penyiaran, maka perorangan, badan usaha, ataupun badan hukum dikatakannya akan dipaksa memiliki izin menjadi lembaga penyiaran.

Selanjutnya perorangan atau badan usaha yang tidak dapat memenuhi persyaratan perizinan penyiaran itu menjadi pelaku penyiaran ilegal dan harus ditertibkan oleh aparat penegak hukum karena penyiaran tanpa izin merupakan pelanggaran pidana.

Belum lagi pembuat konten siaran melintasi batas negara sehingga tidak mungkin terjangkau dengan hukum Indonesia.

Ramli mengakui kemajuan teknologi yang pesat memungkinkan terjadinya konvergensi antara telekomunikasi dan media penyiaran, tetapi usulan agar penyiaran yang menggunakan internet termasuk penyiaran disebutnya akan mengubah tatanan industri penyiaran dan mengubah secara keseluruhan Undang-Undang Penyiaran.

Solusi yang diperlukan, menurut dia, adalah pembuatan undang-undang baru oleh DPR dan pemerintah yang mengatur sendiri layanan siaran melalui internet.

(hsn)