“Karena UU Pers ini lex specialis, sehingga tindakan penganiayaan dan pengeroyokan itu bisa dianggap sebagai bagian dari penghalang-halangan terhadap pers seperti disebutkan dalam pasal 18 UU Pers nomor 40 tahun 1999,” kata Winarko.
“Karena korbannya dalam perkara ini adalah jurnalis. Beda lagi kalau korbannya bukan jurnalis, maka tidak dikenai UU Pers,” imbuh dia.
Mendengar tuntutan jaksa kepada dua kliennya, penasihat hukum dua polisi, Joko Cahyono menyatakn akan mengajukan nota pembelaan atau pleidoi pada sidang berikutnya.
“Kami akan mengajukan pembelaan untuk dua terdakwa. Kami mohon waktu dua pekan yang mulia,” kata Joko kepada majelis hakim.
Perberat vonis
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrim, merespons tuntutan tersebut.
Dia mempertanyakan alasan jaksa tidak menjadikan status kedua terdakwa yang merupakan anggota Polri, sebagai pemberat.
“Seharusnya, status mereka sebagai anggota Polri itu dijadikan salah satu alasan pemberat karena yang mereka lakukan telah mencoreng institusi Polri,” kata Sasmito yang menyaksikan langsung sidang tersebut di PN Surabaya.
Ketua AJI Surabaya, Eben Haezer berharap agar majelis hakim mempertimbangkan latar belakang kedua terdakwa sebagai anggota Polri, sebagai pertimbangan yang memberatkan sehingga vonis yang nantinya akan diberikan adalah vonis maksimal.
“Kami juga masih berharap agar hakim memerintahkan supaya Polisi melakukan penyelidikan terhadap nama-nama yang muncul selama persidangan, baik yang dinyatakan oleh saksi maupun terdakwa, yang patut diduga terlibat dalam penganiayaan ini karena kita tahu bahwa pelaku sebenarnya bukan cuma dua orang ini,” tutur Eben. (RS)