Kisah Kue Batang Buruk Khas Bintan, Sejak 4 Abad Silam

Kue Batang Buruk sejak 4 abad silam.
Kue Batang Buruk. F Kemendikbud.

AlurNews.com – Provinsi Kepulauan Riau bukan hanya dikenal dengan keindahan alam dan keragaman budaya seni dan adatnya. Provinsi ini juga menawarkan kekayaan kuliner yang unik dan lezat, salah satunya adalah makanan ringan bernama Kue Batang Buruk.

Makanan ini sering disajikan pada acara khusus, termasuk saat Hari Raya Idulfitri.

Kue Batang Buruk terbuat dari campuran tepung gandum, tepung beras, dan tepung kelapa yang diuli dan dibentuk menjadi sebuah adonan menggunakan mesin pencampur.

Setelah itu, adonan dipotong-potong dan digulung menggunakan batang besi berbentuk silinder hingga membentuk gulungan berongga di bagian tengah. Kemudian gulungan tadi digoreng dalam minyak panas dan dicampur dengan serbuk kacang hijau goreng, gula halus, dan susu bubuk atau susu kental manis.

Meskipun berukuran kecil, Kue Batang Buruk memiliki kisah menarik di balik penamaannya.

Baca Juga: Konsumsi 4 Makanan dan Minuman Ini, Tidur Jadi Berkualitas

Kue ini sudah dikenal sejak empat abad silam, seperti dikutip dari laman Balai Pelestarian Nilai Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Kisah ini bermula dari cinta Wan Sendari, putri sulung Baginda Raja Tua yang memerintah Kerajaan Bintan sekitar 450 tahun silam.

Wan Sendari rupanya saat itu memendam rasa cinta kepada seorang pemuda nan gagah rupawan, namanya Raja Andak dengan gelar Panglima Muda Bintan. Namun sayang, cinta sang putri hanya bertepuk sebelah tangan. Sang pujaan hati justru lebih memilih Wan Inta yang tak lain adalah adik kandung Wan Sendari.

Sang putri yang sedang patah hati itu kemudian berusaha mengusir kegalauannya dengan menyibukkan diri mencoba sebuah resep masakan baru di dapur istana kerajaan bersama para pengasuhnya. Wan Sendari berhasil menciptakan sebuah kue ringan yang unik. Jika digigit kue maka akan hancur berderai.

Selepas membuat kue buatan sendiri, Wan Sendari lalu memohon kepada sang raja, yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Ia memohon agar diperbolehkan menyajikan kue tadi untuk lingkungan istana termasuk juga kepada para tamu kerajaan.

Baginda Raja Tua tak mampu menolak permohonan tulus dari sang buah hati. Hatinya pun luluh dan memberi kesempatan Wan Sendari untuk menyajikan kue buatannya itu kepada para tamu kerajaan. Hingga pada suatu hari, Baginda Raja Tua pun menggelar sebuah pertemuan dan seluruh petinggi kerajaan dikumpulkan. Saat itu pula Wan Sendari memamerkan kue hasil karyanya untuk dinikmati oleh para tamu yang diundang ayahnya. Di antara para tamu tadi terdapat pula Raja Andak, lelaki idaman sang putri.

Baca Juga: Inspirasi Kue Kering Khas Lebaran

Ketika tiba waktunya sang raja mempersilakan mencicipi kue buatan putri kesayangan, para tamu pun antusias untuk segera melahap kue-kue yang mengundang selera itu. Sayangnya ketika sedang menikmati kue, mendadak mereka harus menahan malu. Lantaran kue-kue yang sudah lumat di dalam mulut para tamu mendadak berjatuhan.

Serpihannya berserak memenuhi sebagian pakaian kebesaran yang dikenakan para tamu. Mereka pun merasa malu dan hanya bisa tertunduk karena merasa kerepotan memakan kue buatan sang putri. Tetapi tidak demikian dengan Raja Andak, pria pujaan Wan Sendari. Hanya panglima muda ini saja yang memakan kue tetapi tidak satu pun serpihan kue yang mengotori baju kebesarannya.

Rupanya Panglima Muda Bintan memegang teguh filosofi di Kerajaan Bintan. “Biar pecah di mulut asal jangan pecah di tangan,” begitu bunyi filosofi yang berkembang saat itu. Ini menggambarkan bagaimana seorang bangsawan mempunyai etika pada saat makan. Tak terkecuali ketika sedang mencicipi sebuah kudapan.

Apabila seseorang bangsawan terburu-buru dan ceroboh ketika makan atau mencicipi penganan, maka mencerminkan betapa buruknya tingkah laku bangsawan tersebut. Ternyata melalui kue ini pula Wan Sendari membuktikan kepada dirinya bahwa ia tidak salah dalam memilih pria idaman meski pada akhirnya hanya bertepuk sebelah tangan.