Yasonna Paparkan Isu Martabat Manusia dalam Konferensi di Universitas Oxford

isu martabat manusia
Menteri Hukum dan Ham Yasonna H Laoly saat hadir dalam konferensi di Universitas Oxford. Foto: Dok. Kemenkumham RI.

AlurNews.com – Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly menjelaskan soal isu martabat manusia saat menjadi pembicara utama dalam konferensi bertajuk “Perspektif Peradaban mengenai Martabat Manusia (Civilizational Perspectives on Human Dignity).”

Kegiatan tesebut dihadiri sekitar 150 peserta yang merupakan ahli hukum internasional dan pejuang HAM dari berbagai negara.

Konferensi itu diselenggarakan oleh Pusat Internasional untuk Studi Hukum dan Agama, Universitas Brigham Young dengan menggandeng Sekolah Hukum Notre Dame dan Universitas Oxford.

Konferensi tersebut bertujuan menggalang dukungan global untuk menetapkan Hari Martabat Manusia melalui Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Resolusi PBB ini akan memberikan pengakuan atas martabat manusia sebagai HAM yang paling fundamental. Dalam kesempatan tersebut, Yasonna mengungkapkan bahwa martabat manusia memiliki keterkaitan dengan keadilan sosial dan perlakuan yang adil.

Dalam siaran persnya, Yasonna mengatakan martabat manusia dapat dilihat dari berbagai konteks yang berbeda karena keragaman budaya.

Namun isu tersebut tidak menghapuskan persamaan bahwa setiap manusia berhak mendapatkan perlakuan yang terhormat tanpa dibeda-bedakan.

“Persepsi yang berbeda tentang martabat manusia tidak menghapuskan fakta bahwa semua individu berhak diperlakukan secara terhormat, terlepas dari latar belakang, ras, jenis kelamin, atau status sosial seseorang,” ujar Yasonna, dikutip dari siaran persnya, Kamis (27/7/2023).

Menurut Yasonna, konsep martabat manusia sangat terkait dengan HAM, karena HAM menciptakan tatanan yang menjunjung martabat setiap manusia.

Selain membahas martabat manusia, dalam kesempatan itu Yasonna menjelaskan pemerintah Indonesia telah menetapkan prioritas pelindungan HAM kepada kelompok paling rentan dan terpinggirkan.

Kelompok rentan ini di antaranya orang lanjut usia (lansia), anak-anak, perempuan, fakir miskin, dan penyandang disabilitas.

“Salah satu program yang diluncurkan oleh pemerintah Indonesia adalah pemberian bantuan hukum gratis bagi masyarakat tidak mampu sebagai bentuk akses terhadap keadilan yang merata bagi semua masyarakat,” ujar Yasonna.

Pemerintah Indonesia juga menjamin kebebasan beragama bagi masyarakat Indonesia. Kebebasan beragama itu tercermin dalam Pancasila sebagai dasar dan falsafah resmi negara Republik Indonesia (RI), Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Undang-undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Konferensi Oxford ini akan dilanjutkan dengan mengangkat tema tentang literasi agama lintas budaya. Kali ini Indonesia akan menjadi tuan rumah. Kegiatan akan digelar pada 13 hingga 14 November mendatang.

Indonesia akan bekerja sama dengan Brigham Young University Law School, Sekretariat Internasional Kebebasan Beragama, dan Templeton Religion Trust.

Konferensi di Oxford ini diselenggarakan dalam rangka memperingati 75 tahun Deklarasi Universal HAM dengan tema Martabat Manusia dan Aturan Hukum untuk Masyarakat yang Damai dan Inklusif.

Setelah menghadiri konferensi Yasonna juga bertemu dengan 100 mahasiswa dari beragam universitas yang tergabung dalam Perkumpulan Pelajar Indonesia (PPI) Oxford serta diaspora Indonesia yang tinggal di Inggris.

Di sela kunjungan kerjanya ke Universitas Oxford, ia mendiskusikan berbagai isu, terutama yang berkaitan dengan tugas fungsi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), seperti keimigrasian dan kewarganegaraan.

Dalam lawatan ke Inggris, Yasonna didampingi oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemenkumham Andap Budhi Revianto, Direktur Jenderal (Dirjen) Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham Cahyo Muzhar, dan Staf Khusus (Stafsus) Bidang Hubungan Luar Negeri Kemenkumham Linggawati.

Yasonna mengatakan menjelaskan pemerintah Indonesia saat ini memberikan fasilitas keimigrasian bagi diaspora dan repatriasi eks warga negara Indonesia (WNI) melalui Izin Tinggal Keimigrasian (ITK). Selain itu, pemerintah Indonesia akan mengeluarkan kebijakan baru mengenai Golden Visa atau Visa Rumah Kedua.

Kebijakan tersebut diberlakukan sebagai upaya menarik tenaga profesional dan pebisnis agar tinggal di Indonesia dalam waktu yang lama sesuai ketentuan yang berlaku.

“Kebijakan terbaru adalah Visa Rumah Kedua. Indonesia mengincar pelintas-pelintas berkualitas untuk berinvestasi dan memberikan keuntungan kepada Indonesia,” ujar Yasonna.

Untuk eks Mahasiswa Indonesia Ikatan Dinas (Mahid), pemerintah telah menetapkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.

Melalui kebijakan tersebut, Kemenkumham dapat memberikan kemudahan fasilitas keimigrasian bagi eks Mahid yang ingin kembali ke Indonesia. Sementara itu, mengenai isu kewarganegaraan, Yasonna menyampaikan kepastian hukum bagi anak-anak berkewarganegaraan ganda. (red)