Meski begitu, berubahnya bentangan alam dengan tidak memenuhi syarat kegiatan akan menimbulkan banyak masalah, diantaranya; kerusakan lingkungan, ekonomi dan sosial di masyarakat.
Pada saat verifikasi aduan ini, NGO Akar Bhumi Indonesia (ABI) juga mendapati pekerjaan Pemko Batam yakni pembangunan perkuatan pengaman tebing pantai Kampung Panau. Upaya revitalisasi bibir pantai dilakukan dengan pembangunan tanggul atau seawall.
Penahan abrasi terbuat dari batu miring dan dilakukan secara reklamasi. Pelaksana pekerjaan juga sangat hati-hati dengan memasang tirai pembatas lumpur yang dipakai sebagai pencegah menyebarnya kontaminasi atau unsur pencemar yang disebabkan oleh reklamasi. Justru, ABI mengaku tak menemukan tanggul apalagi silt barride di area reklamasi PT BSI.
Adapun dugaan pelanggaran hukum terkait aktivitas PT BSI di Kabil adalah UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 27/2007 junto UU No 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Lalu, Peraturan Menteri KKP No 25/2019 tentang Izin Pelaksanaan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Peraturan Pemerintah No 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Perda Batam No 4/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Sumber kami menginformasi bahwa PT BSI bisa saja sudah mengantongi izin Kesesuaian Kegiatan Ruang Laut (KKPRL) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Izin Reklamasi BP Batam. Namun hasil verifikasi lapangan oleh tim advokasi NGO Akar Bhumi Indonesia, PT Blue Steel Industries diduga tidak menjalankan prosedur pekerjaan reklamasi dengan cara yang benar hingga menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan,” kata Ketua ABI, Soni Riyanto.
Kata dia, di PP 41/2021 memang terkesan memudahkan perizinan. Tapi, tentu itu bukan menggampangkan perusakan lingkungan apalagi laut, dimana masyarakat pesisir mengantungkan nasibnya.
Perihal maraknya kasus kerusakan dan pencemaran akibat reklamasi serta deforestasi ekosistem mangrove saat ini tengah intensif dibahas di Komisi IV DPR RI. Yang mana KLHK, KKP, BP Batam, Pemko Batam dan Pemprov Kepri, ditenggarai menjadi pusat kesalahan.
“Mereka akan kami panggil semua,” kata Ketua Komisi IV DPR RI, Sudin, saat sidak reklamasi ilegal di Batam, pada 5 Juni 2023 silam.
Pada tanggal 29 Agustus 2023, beberapa perusahaan yang terjerat kasus hukum itu dipanggil dalam RDPU dengan mengundang para petinggi perusahaan pengguna kawasan hutan dan perusahaan pengguna kawasan lahan pesisir dan pulau-pulau kecil.
Berlanjut pada tanggal 30 Agustus 2023, Wali Kota Batam, Bupati Lingga dan Bupati Karimun pun diundang ke Senayan untuk RDPU dengan Komisi IV, perihal pencemaran dan kerusakan lingkungan di Kepri.
Founder ABI, Hendrik Hermawan menambahkan, bahwa banyak perusahaan di Batam yang izinnya bermasalah atau bahkan tak punya izin. Ada pula yang kantongi izin tapi tak menjalankan ketentuan yang menjadi terpenuhinya perizinan.
“Izin ibaratkan SIM, anda tidak boleh melanggar UU Kepolisian. Dilarang mengendarai kendaraan di saat mabuk. Dapat berpotensi mencederai orang lain. Demikian juga perusahaan yang mendapatkan izin menjalankan usaha,” kata Hendrik.
Kabid Perlindungan Lingkungan Hidup DLH Batam, IP, saat dikonfirmasi mengatakan, dinasnya akan melakukan tindakan, namun tentu atas arahan dari KLHK dan Pemprov Kepri.
“Menghentikan kegiatan pada saat penanganan awal, dan perintah secara lisan untuk menyelesaikan segala izin. Setelahnya, kami akan berkoordinasi dengan KLHK dan Pemprov karena kewenangan ruang laut di sana,” katanya. (Arjuna)