
AlurNews.com – Predikat Kota Ramah Anak kembali diraih Kota Batam. Namun, data kekerasan terhadap anak justru menunjukkan tren yang berlawanan. Sepanjang 2025, jumlah anak yang menjadi korban kekerasan melonjak hampir 450 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Berdasarkan data yang dihimpun AlurNews.com dari berbagai sumber, pada 2024 terdapat 24 anak menjadi korban kekerasan. Angka tersebut melonjak tajam menjadi 132 korban pada 2025. Kekerasan seksual menjadi kasus paling dominan dengan 52 korban, dengan anak-anak sebagai kelompok paling rentan.
Lonjakan tersebut terjadi beriringan dengan disahkannya Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Penyelenggaraan Kota Ramah Anak oleh Pemerintah Kota Batam bersama DPRD Batam.
Wali Kota Batam, Amsakar Achmad, menilai peningkatan angka kekerasan tidak bisa dimaknai secara sederhana. Menurutnya, kenaikan data bisa mencerminkan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk melapor.
“Kalau sebelumnya orang masih ragu melapor, sekarang sudah lebih terbuka. Itu bisa kita maknai sebagai perkembangan positif,” ujar Amsakar saat dihubungi melalui sambungan telepon, Jumat (19/12/2025).
Meski demikian, Amsakar tidak menampik adanya persoalan serius yang berdampak langsung pada anak, khususnya di lingkungan keluarga. Ia menegaskan pentingnya peran semua pihak dalam memberikan rasa aman bagi anak.
“Yang paling penting, seluruh warga Batam harus memberikan kenyamanan dan perlindungan kepada anak-anak,” ujarnya.
Amsakar menyebut akan memperkuat koordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), Komisi Perlindungan Anak, serta instansi terkait lainnya. Ia menekankan bahwa kekerasan terhadap anak kerap berakar dari lingkungan terdekat.
“Mulai dari rumah tangga, sekolah, hingga lingkungan pergaulan. Anak adalah aset masa depan, jangan sampai problem orang dewasa dilampiaskan kepada mereka,” jelasnya.
Namun, efektivitas Perda Kota Ramah Anak yang baru disahkan masih menuai sorotan. Sejumlah pihak menilai regulasi tersebut berpotensi hanya menjadi dokumen administratif apabila tidak diiringi dengan penegakan hukum, pengawasan, serta keberpihakan nyata kepada korban.
Amsakar menyebut data kekerasan terhadap anak sebagai alarm keras bagi semua pihak. Ia menegaskan pentingnya penguatan koordinasi lintas sektor agar kebijakan tidak berhenti pada simbol dan penghargaan semata.
Terkait desakan agar kasus kekerasan seksual diproses menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), Amsakar menegaskan hal tersebut merupakan kewenangan aparat penegak hukum.
“Itu sudah masuk ranah aparat penegak hukum. Pemerintah daerah tidak bisa menentukan pasal apa yang digunakan,” katanya.
Sementara itu, temuan Jaringan Safe Migrant Peduli Perempuan dan Anak menunjukkan skala persoalan yang lebih luas. Sepanjang 2025, tercatat 448 kasus kekerasan terhadap perempuan, anak, dan pekerja migran di Batam.
Data tersebut disampaikan dalam penutupan rangkaian kegiatan 24 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (24 HAKTPA) di PIH Asrama Haji Batam Center, Kamis (18/12/2025).
Ketua KKPPMP Keuskupan Pangkalpinang sekaligus perwakilan Jaringan Safe Migrant Batam, Romo Chrisantus Paschalis Saturnus, menyebut lonjakan kasus tersebut sebagai tanda krisis perlindungan.
“Ini bukan sekadar angka statistik. Ini penanda bahwa sistem perlindungan masih gagal menjangkau korban,” ujarnya.
Dari total 448 kasus, pekerja migran Indonesia (PMI) nonprosedural tercatat paling banyak dengan 114 kasus. Selanjutnya kekerasan seksual 64 kasus, tindak pidana perdagangan orang (TPPO) 45 kasus, eksploitasi ekonomi 36 kasus, serta kekerasan dalam rumah tangga 26 kasus.
Menurut Romo Paschal, kekerasan kerap terjadi dalam relasi kerja, namun juga marak di lingkungan keluarga dan komunitas terdekat korban. Ia menyoroti lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku.
“Tidak semua kasus berlanjut hingga putusan pengadilan. Ada yang berhenti di tengah jalan, dimediasi, atau terkendala proses hukum,” katanya. (nando)

















