BATAM – Langkah BP Batam dalam pengakhiran konsesi pengelolaan air bersih dengan PT Adhya Tirta Batam (ATB) dinilai telah memberikan ketidakpastian hukum dan investasi bagi investor. BP Batam dianggap mengingkari sejumlah perjanjian konsesi yang sudah disepakati kedua belah pihak.
“Kontrak adalah sebuah acuan yang harus dipegang teguh kedua belah pihak. Namun dalam hal ini, kami menilai BP Batam tidak menjalankan kontrak secara konsisten. Tentu saja ini memberikan ketidakpastian,” ujar Head of Corporate Secretary ATB, Maria Jacobus.
ATB merupakan bagian dari PT Bangun Cipta Kontraktor (BCK) yang adalah perusahaan lokal, dan Sembawang Corporation (Sembcorp), salah satu perusahaan raksasa yang berbasis di Singapura, yang dipercaya mengelola Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) pulau Batam.
Dalam hal ini, BP Batam (Otorita Batam saat itu) dan ATB menandatangani perjanjian konsei yang berlaku selama 25 tahun. Perjanjian tersebut mengatur secara detail tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Selama hampir 25 tahun mengelola SPAM Pulau Batam, ATB telah melakukan kontribusi besar terhadap Batam. Bahkan, perusahaan ini mampu melakukan berbagai hal yang melebihi apa yang disyaratkan dalam perjanjian konsesi.
Misalnya dalam hal cakupan pelanggan. Dalam kontrak konsesi, ATB diminta melayani 107 ribu pelanggan di akhir konsesi. Namun, saat ini ATB telah berhasil memenuhi melayani 290.488 pelanggan.
ATB juga berhasil melampaui kewajibannya dalam hal menjaga tingkat kehilangan air menjadi hanya 14 persen, dimana ini merupakan tingkat kehilangan air terbaik di Indonesia. Serta cakupan area pelayanan yang telah mencapai 98,7 persen. Prestasi lain dapat dilihat dalam hal kontinyuitas suplai dan besaran investasi.
Praktis ATB telah menjadi investor yang melebihi ekspektasi pemerintah. Namun sayangnya, di sisi lain BP Batam justru gagal memberikan kepastian hukum dan investasi kepada investornya, karena tidak sepenuhnya melaksanakan perjanjian konsesi.
Sejumlah kewajiban yang harusnya dijalankan sebagai kompensasi atas investasi yang dijalankan ATB, tidak dilakukan sebagaimana mestinya.
“Ini adalah salah satu bentuk ketidakpastian dalam berinvestasi. BP Batam tidak memberikan hak yang seharusnya diterima oleh ATB,” ungkapnya.
Ketidakpastian hukum terhadap investasi semakin dirasakan oleh ATB jelang akhir konsesi. BP Batam melelang aset yang masih menjadi milik ATB. Langkah ini dinilai telah menciderai hak-hak ATB sebagai investor di Batam.
Padahal, baik dalam PP 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah, dan PMK 59 tahun 2020 tentang Tata Cara Pengelolaan Aset Pada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas Batam,disebutkan bahwa BP Batam tidak bisa melelang aset yang belum menjadi Barang Milik Negara (BMN).
“BP Batam harusnya sadar betul, bahwa aset yang dijadikan objek adalah aset ATB. Aset investor. Belum sepenuhnya menjadi BMN. Ini memberikan ketidakpastian hukum atas aset yang kami bangun dan kelola,” jelas Maria.
Baru-baru ini kepala BP Batam juga mengancam akan menggunakan aparat untuk mengambil paksa aset yang dikelola ATB di akhir masa konsesi, walaupun masih ada kewajiban BP Batam yang belum dipenuhi. Padahal di dalam perjanjian konsesi disebutkan, bahwa ketika ada ketidakpakatan antara para pihak, maka akan diselesaikan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
“Kami berharap kita sama-sama patuh terhadap perjanjian konsesi. Jangan menggunakan pendekatan kekerasan di luar jalur yang seharusnya. BP Batam harus memberikan kepastian investasi dengan konsisten pada perjanjian,” tegas Maria.
Apa yang dilakukan BP Batam kepada ATB dapat menjadi presenden buruk bagi iklim investasi kota Batam. Jika BP Batam gagal memberikan kepastian investasi dan kepastian hukum bagi para investor, maka tujuan Batam sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi nasional terancam gagal tercapai.
“Kita sama-sama membangun Batam. BP Batam sebagai regulator harusnya melindungi dan memberikan kepastian. Mari kita berharap yang terbaik bagi pelayanan air bersih di Batam,” tuturnya. (*)