FSP LEM SPSI Akan Gelar Unjuk Rasa di Depan Mahkamah Konstitusi, Terkait Masalah UU Cipta Kerja

Foto : tangkapan layar youtube

AlurNews.com, Jakarta – Ribuan pekerja FSP LEM SPSI (Federasi Serikat Pekerja Logam Elektronik Dan Mesin Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), akan melakukan unjuk rasa Senin – Kamis, 8 – 11 November 2021, jam 10.00 s/d 16.00, di depan Mahkamah Konstitusi, untuk menyampaikan aspirasi dan memohon, meminta Hakim MK untuk membuat keputusan yang seadil-adilnya dan sejujur-jujurnya.

Ketua Umum FSP LEM SPSI, Arif Minardi menerangkan alasan diadakan aksi ini karena proses pengesahan UU Ciptakerja diduga cacat hukum.

”Penyebab utama melakukan aksi unjuk-rasa adalah karena proses pembentukan UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang dimulai perencanaan hingga pengesahan di DPR RI cacat hukum, cacat moral, bahkan ada pelanggaran pidana yaitu setelah di ketok palu oleh DPR, UU tersebut masih mengalami perubahan-perubahan yang jelas-jelas dapat disaksikan oleh tidak hanya para pekerja/buruh tetapi seluruh masyarakat Indonesia. Dan pelanggaran tersebut seharusnya masuk ranah pidana.” kata Arif Minardi dalam siaran persnya (Kamis. 4 November 2021) di Jakarta.

Berikut disampaikan kronologis ringkas pembentukan UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja ;

    1. Pembentukan UU Cipta Kerja tidak mencerminkan semangat musyawarah untuk mufakat.
    2. Prosedur dan proses pengundangan UU Cipta Kerja yang mengabaikan UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pasal 1 ayat (19) sebagai ejawantah dari Pancasila dan UUD 1945, yang berbunyi : “Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah.”  Artinya lembaga ini tidak terlibat atau tidak dilibatkan dalam penyusunan draft/rancangan UU Cipta Kerja, padahal disinilah seluruh permasalahan dunia usaha yang berhubungan dengan ketenagakerjaan dapat dicari win-win solution melalui musyawarah untuk mufakat. LKS Tripartit ini dipimpin langsung oleh Menteri dan anggotanya diangkat  melalui Keputusan Presiden. Sehingga apabila pengusaha merasa ada permasalahan pada pasal-pasal UU No. 13 Tahun 2003, dapat dikomunikasikan, dikonsultasikan dan dimusyawarahkan di dalam LKS Triparti ini, dengan di dukung oleh data-data yang otentik.
    3. Prosedur pembentukan UU Cipta Kerja melanggar asas-asas seperti pada pasal 5 dan pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, padahal prosedur, dalam teori hukum adalah jantungnya hukum.
    4. Pasal 5 huruf g UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, menyatakan bahwa dalam pembuatan UU harus mengikuti  “asas keterbukaan” mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
    5. Jelas-jelas disebutkan bahwa keterlibatan masyarakat khususnya pemangku kepentingan wajib dilibatkan sejak perencanaan. Sedangkan kita dapat melihat dengan jelas bahwa perencanaan hanya melibatkan pengusaha tanpa melibatkan pekerja/buruh. Jadi jelas dan nyata bahwa pembentukan UU No.11 Tahun 2020 tidak sesuai azas, dan azas adalah hal yang sangat mendasar dalam tatakrama dan prosedur pembentukan UU, sehingga jika dilakukan sejak perencanaan hasilnya tidak akan terjadi kegaduhan.
    6. UU No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, yang mengatur tentang tugas dan peran serikat pekerja yang wajib memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya. Artinya, bahwa SP/SB wajib dilibatkan dalam permasalahan yang menyangkut pekerja/buruh sebagaimana amanah dan perintah UU ini. Hal ini jelas ada korelasinya dengan UU ketenagakerjaan khususnya tentang hubungan industrial melalui LKS Tripartit. Sehingga dalam penyusunan draft/rancangan UU Cipta Kerja sejak awal wajib dilibatkan, dan inipun sesuai dengan amanah UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
    7. Tim yang dibentuk atau pertemuan-pertemuan yang membahas Omnibus Law RUU Cipta Kerja, hanyalah sebagai formalitas saja, atau hanya untuk legitimasi, tidak mencerminkan musyawarah untuk mufakat sebagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945, dan tidak mengikuti amanah atau perintah UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Artinya tim-tim tersebut dibentuk setelah  draft/rancangan UU Cipta Kerja resmi diserahkan kepada DPR, padahal undang-undang memerintahkan seharunya SP/SB dilibatkan sejak perencanaan penyusunan draft/rancangan UU Cipta Kerja.
    8. Adanya pelanggaran pidana yaitu setelah di ketok palu oleh DPR, UU tersebut masih mengalami perubahan-perubahan yang jelas-jelas dapat disaksikan oleh tidak hanya para pekerja/buruh tetapi seluruh masyarakat Indonesia. Dan pelanggaran tersebut seharusnya masuk ranah pidana.
    9. Pada kesempatan ini sebenarnya bersamaan dengan momentum penetapan Upah Minimum, oleh karena itu penetapan MK sangat berkaitan dengan penetapan Upah Minimum, dan kepada seluruh Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia  agar menaikkan Upah Minimum 15 %, dengan pertimbangan agar pekerja/buruh meningkat daya belinya dan membantu percepatan pemulihan ekonomi nasional. Dan pemerintah dihimbau untuk membantu perusahaan dalam meningkatkan pendapatan perusahaan dengan melalui berbagai langkah yang mungkin dilakukan seperti pengurangan pajak atau insentif melalui kebijakan fiskal, bagi perusahaan yang mampu menaikkan upahnya sampai dengan 15 %.

Demikianlah siaran pers yang dibacakan Ketua Umum LEM Arif Minardi dikutip melalui laman FSP LEM SPSI www.fsplemspsi.or.id

AZ