Oleh Cak Ta’in Komari, SS.
BATAM – Ex-officio berakhir. Secara ekplisit dan implisit PP No.41 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, khususnya Pasal 10 ayat (2) yang menyatakan “ Kepala dan anggota Badan Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan ditetapkan oleh Dewan Kawasan.” Meskipun PP No.62 Tahun 2019 tidak dinyatakan dicabut tetapi sudah tidak efektif dan kehilangan ruh nya soal ex-officio. Coba kita lihat Bab X Ketentuan Penutup Pasal 78 “ Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai KPBPB tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. Pasal 81 ditegaskan “ Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku efektif pada tanggal diundangkan.”
PP 41 tahun 2021 diundangkan pada tanggal 2 Februari 2021. Maka pada tanggal dimaksud, meskipun ex-officio tidak bertentangan tapi tidak sejalan dengan Pasal 10 ayat (2), tetapi Walikota Batam yang hingga saat ini mengaku masih menjabat Kepala BP Batam harus diangkat dan ditetapkan oleh Dewan Kawasan. Jika sejak tanggal dimaksud, Menko Perek selaku Ketua Dewan Kawasan tidak memberikan SK baru kepada Walikota Batam yang baru dilantik pada tanggal 15 Maret 2021, maka jabatan tersebut bisa dikatakan bodong. Semua kebijakan dan keputusan yang diambil pasca PP 41 tahun 2021 diundangkan menjadi diragukan keabsahannya alias illegal. Ingat kasus Jaksa Agung Hendarman Supanji tahun 2010 yang digugat Yusril Isha Mahendra karena tidak diSK-kan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono setelah terpilih kembali tahun 2009. Gugatan di Mahkamah Agung itu dimenangkan Yusril.
Jika analog kasus Jaksa Agung dan Yusril tersebut diterapkan pada posisi Kepala BP Batam ex-officio oleh Walikota Batam, mengutip bahasa Yusril Isha Mahendra “Jaksa Agung Bodong”, apa kemudian jabatan Kepala BP Batam saat ini “ Bodong”..? Sejauh yang diketahui dan diumumkan ke public baru sebatas adanya pelantikan jabatan Walikota dan Wakil Walikota Batam tanggal 15 Maret 2021. Hingga saat ini belum ada informasi adanya pengangkatan dan penetapan Walikota Batam secara ex-officio adalah Kepala BP Batam. Tampaknya cause ini perlu sekali diuji secara akademis, logis bahkan hukum.
Selama hampir 15 bulan itu, apa yang sudah diselesaikan ex-officio persoalan krusial di Batam, terutama soal status lahan kampung tua dan realisasi janji pembebasan UWTO. Integrasi dua lembaga BP Batam dan Pemko Batam hanya meredahkan ‘perang dingin’ soal kewenangan dan kekuasaan. Yang sesungguhnya hanya rebutan ‘kue’ empuk pengelolaan lahan dan aset BP Batam yang berpotensi bisa menghasilkan uang besar bagi institusi, bahkan mungkin personal. Sekaligus mengakomodir kepentingan politik kader-kader partai dalam gerbong yang seharusnya diisi tenaga-tenaga professional.
Akhir tahun 2020, tepatnya 18 Desember 2020, Kepala BP Batam menerbitkan SK Nomor 249 Tahun 2020 tentang Anggota Pengawas Badan Usaha di Lingkungan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Belum bicara soal integritas dan kapasitas orang-orang yang ditunjuk, public sudah nyinyir, itu hanya upaya akomodir kepentingan politik, karena memang tidak direkrut melalui fit and proper tes sehingga teruji kapasitas dan kempetensinya. Di mana nama-nama orang yang di 60 persen personal luar pejabat BP Batam, adalah timses pilkada bahkan adalah kader partai politik. Yang jelas-jelas tercatat kader partai politik ada Makmur AT, Horjani Hutagaul, Teuku Jayadi Nur, bahkan ada anggota DPRD Provinsi Kepri Dr. Teuku Afrizal (Dahlan).
Pembentukan Dewan pengawas yang berjumlah 20 orang untuk 4 unit usaha BP Batam, yakni Badan Usaha Bandar Udara, Badan Usaha Pelabuhan, Badan Usaha Rumah Sakit, dan Badan Usaha Fasilitas dan Lingkungan. Masing-masing Badan Usaha memiliki 5 orang dewan pengawas. Ini adalah sejarah baru sepanjang BP Batam dan Otorita Batam ada. BP Batam yang hanyalah operator kebijakan pemerintah pusat dan diisi orang-orang berkualitas dan berintegritas tinggi di bidang masing-masing, BP Batam perlu memiliki pengawas lagi yang kapasitasnya… entahlah..?
Di mana anggota dewan pengawas BP Batam merupakan orang-orang politik, orang dekat dan bahkan, yang telah menjadi deputi, wakil kepala dan direktur di BP Batam sehingga terjadi rangkap jabatan. Yang mungkin juga pendapatannya secara otomatis rangkap? Sejauh ini efektivitas pembentukan Dewan Pengawas itu juga tidak kelihatan, bahkan prosesnya diam-diam saja. Apakah memang dimaksudkan untuk membantu tugas-tugas Kepala BP atau sekedar bagi-bagi jabatan? Atau ada tujuan lain yang public belum mengetahuinya?
Ketika PP 62/2019 itu masih wacana berbagai pihak sudah mengingatkan pemerintah bahwa peraturan tersebut akan menabrak 3 undang-undang sekaligus, yakni UU Pemerintahan Daerah, UU Pengelolaan Keuangan Negara, dan Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Tapi nyatanya Presiden Joko Widodo tetap menerbitkan PP 62/2019 tersebut, dan hampir tidak ada yang melakukan protes setelah diterbitkan, kecuali penulis yang melakukan judicial review ke Mahkamah Agung dengan nomor Register 82P/HUM/2019; yang pada tanggal 13 Desember 2019 diputusakan dengan Menolak Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil pemohon.
Kebijakan yang sudah dikukuhkan oleh Lembaga Hukum Negara Mahkamah Agung yang otomatis sudah memiliki kekuatan hukum tetap, dengan mudah diamputasi lagi oleh pemerintah pusat sendiri, dengan terbitnya PP 41/2021 tersebut. Ketika kita telaah pasal 74 dan 75 PP tersebut, memberikan pengertian bahwa pemerintah akan membentuk Dewan Kawasan BBK dan Badan Pengusahaan BBK yang baru, yang secara bersamaan membubarkan Dewan kawasan BBK dan Badan Pengusahaan BBK. Apa maksud kedua pasal tersebut? Sepertinya Dewan Kawasan Nasional yang di bawah Menko Perek atau tim penyusun materi peraturan tersebut menjelaskan ke public secara gamblang. Jangan-jangan yang menyusun peraturan pun tidak memahaminya.
Penulis jadi penasaran juga untuk menganalisa dan coba menduga-duga lah. Siapa sesungguhnya yang mengusulkan dan mengajukan ide/gagasan penggabungan BP BBK hingga lahirlah PP 41/2021 tersebut. Kan tidak mungkin turun draft peraturan tersebut dari langit. Penulis yakin ada pengusul. Ada pembawa ide/gagasan yang disorong-sorongkan kepada Menko Perek. Rasanya kok gak mungkin itu keinginan sendiri Menko Perek. Apa obsesi dan tujuannya? Apakah hanya sekedar untuk mengamputasi jabatan kepala BP Batam ex-officio oleh Walikota Batam? Siapakah dia, dan dari lembaga manakah..?
Penulis jadi khawatir, jangan-jangan Gubernur Provinsi Kepri yang baru dilantik hampir bersamaan dengan terbitnya PP ini pun belum memahami regulasi ini dengan baik. Jangan sampai pula nanti bisa salah paham apalagi kalau sampai gagal paham. Bagaimana regulasi ini akan berjalan dengan baik kalau semua pihak terutama pelaksana regulasi tidak memahami secara komprehensif. Apanya pula yang akan digabungkan di bawah koordinasi Gubernur?
Persoalan BP Batam tetap akan berbeda dengan Bintan dan Karimun. Batam lebih spesifik dan komplek. Perlu pendalaman subtansi lebih baik. Sebenarnya persoalan mendasar bagi BP Batam selama ini adalah integritas kepemimpinan. Di mana secara kualitas dan kapasitas yang memimpin BP Batam pasca Mustofa Wijaya, sudah sangat teruji dan layak. Tidak ada yang meragukan kemampuan Hartanto Reksodiputra atau Lukito Dinarsyah Tuwo. Catatan biografi mereka menunjukkan pernah menempati jabatan penting tata pemerintahan. Pendidikan yang jelas hingga doctor dari perguruan tinggi luar negeri. Bukan abal-abal lah. Nyatanya mereka tidak mampu berbuat banyak guna memperbaiki keadaan ekonomi Batam yang terus memburuk. Pertumbuhan ekonomi pernah menyentuh angka 1.04 persen pada tahun 2017 – mungkin akan menjadi sejarah terburuk di negeri ini. Bahkan ketika kepemimpinan Lukito Dinasyah Tuwo dengan menggeber berbagai even kepariwisataan sepanjang tahun 2018 – pertumbuhan ekonomi Batam hanya mampu menyentuh angka 3,74 persen. Apakah kondisi belakangan ada peningkatan atau semakin terpuruk, di mana pandemic covid19 sejak Maret 2020 telah mematikan ekonomi masyarakat.
Kalau orang yang memimpin dengan sederet prestasi saja tidak mampu memperbaiki kondisi Batam secara profesional, apalagi kalau jabatan tersebut di bawah kekuasaan jabatan politik. Beberapa waktu lalu, hampir semua stake holder di Batam berharap kepemimpinan BP Batam diangkat dan ditetapkan melalui proses fit and proper tes terlebih dahulu, bahkan perlu uji public, supaya tidak seperti membeli kucing dalam karung.
Keputusan Menko Perek soak jabatan kepala BP Batam secara ex-officio dirangkap Walikota Batam, membuat Batam secara status justru turun kasta terdegradasi. Hirarki tata pemerintahan, walikota dan bupati ada di bawah gubernur, baru ke tingkat pusat. Kalau selama ini Kepala BP Batam dapat berkoordinasi secara langsung dengan berbagai kementerian, apa mungkin itu dilakukan oleh seorang walikota, yang di atasnya masih ada gubernur, main selonong boy? Tapi ya sudahlah toh ex-officio juga sudah berakhir dan sebaiknya dikubur saja ceritanya. Tapi kalau ada kasus dugaan korupsi yang tetap harus dibongkat lah.
Berbagai persoalan yang mungkin akan terjadi di atas sangat patut untuk kita renungkan dan kita kaji kembali secara lebih bijaksana dan cermat. Jangan terbawa emosional pribadi atau egoisme kelembagaan. PP 41/2021 baru lahir tapi harus dipersiapkan berbagai kebijakan penunjang, sehingga dalam proses tersebut tetap patut diberikan masukan dan dilakukan suatu kajian yang komprehensif dari segala aspek baik hukum, ekonomi, keuangan, social dan politik. Jangan terkesan keputusan yang diambil karena emosional, rasa putus asa atau balas dendam politik. Batam adalah masa depan, maka harus direncanakan dengan sangat matang. Masih ada waktu untuk berpikir dan membahas semua ini. Ayo lah peduli, jaga dan selamatkan Batam.!